Namun, soal praktik tidak mudah untuk secara lugas memaparkan cintaku padamu. Aku ingin dekat denganmu. Namun, selalu, ketika aku mendekat aku malah takut akan muncul bagian dari diriku yang menunjukkan bahwa aku sama sekali tidak pantas untuk kau pandang dengan mata indahmu.
Maka, aku hanya memandangimu dari jauh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lukisanmu tak buruk, cukup indah-kuakui itu. Namun, bagaimanapun, tetap saja, keindahan yang sebenarnya adalah dirimu, wajahmu, suaramu, senyummu. Dirimu yang berkulitkan kilau cahaya, berambut gerai air terjun, dan berpipi manis buah delima adalah keindahan yang paling sempurna. Bibir mungilmu yang merah jambu sering berganti bentuk. Kadang tersenyum, kadang manyun, lalu tergigit ujung gigimu. Sesekali juga mendadak datar, lalu berubah sendu.
Kedua tangan kecilmu selalu ingin kurengkuh. Tungkai kakimu bersembunyi cantik di balik rok putih yang ujungnya basah tercium air danau. Kedua bola matamu seindah permata. Selalu aku ingin menatapnya, namun tak pernah kulakukan karena takut kau akan menatapku balik dengan cara yang tak sama dengan aku melakukannya.
Maka, aku hanya berpura-pura asyik sendiri di markas pengintaianku di bawah pohon kers, berteduh, kadang melompat-lompat untuk memetik buah-buah kecilnya. Kadang pula aku memanjat pohon itu, meraih buah kers di ujung dahan tertinggi, lalu usil melemparkannya ke arahmu. Sejenak engkau menoleh, tapi aku malah membuang muka, berpura-pura bukan aku yang melakukannya.
Namun, sekali itu kau memanggilku. Tidak biasanya. Aku pun mendekat setelah beberapa detik berpura-pura bodoh. Kau ingin aku mengomentari lukisanmu, bahkan mendesakku untuk itu.
"Cepatlah, lima menit kau diam, lukisanku akan menghilang," pintamu.
Aku memang masih terdiam saat itu, antara senang dan tegang. Entah apa yang harusnya kukatakan. Aku gagap soal seni.
Maka, dengan asal saja aku lanturkan kritikan dan masukan. Kukatakan kurang beberapa warna, terlalu banyak goresan ragu-ragu, ada kesan takut salah, dan terlalu berhati-hati. Entah yang kukatakan itu benar atau tidak. Tidak masalah. Toh, tepat setelah kuakhiri pidato panjangku, lukisanmu terhapus oleh aliran air. Benar atau salah, tak ada bukti untuk menuduhku.
Aku hanya berharap kau tidak tersinggung dengan segala bualanku. Ternyata, memang tidak. Kau malah tersenyum.
"Mau melukis bersamaku?" tanyamu anggun sambil memiringkan kepala.
Tubuhku bergetar, hampir terkejang. Aku ingin menggeleng, namun kepalaku terangguk. Engkau pun menggeser posisi dudukmu, dan memindahkan mangkuk-mangkuk sumba pewarna lebih dekat padaku.
Kita segera memulai. Goresan pertama kau buat dengan warna hijau. Aku kau minta membuat goresan selanjutnya. Maka, kucelupkan ujung jariku ke dalam sumba warna merah, lalu kuarahkan ke atas air.
Kuhentikan sementara gerak tanganku. Sempat aku berharap dengan itu kau akan meraih tanganku untuk menuntunku membuat goresan. Aku ingin, meski cuma sekali, tangan kita bersentuhan. Tapi, setelah kutunggu kau tidak melakukannya. Maka, aku gerakkan sendiri tanganku untuk membuat garis lurus yang tepat sejajar dengan garis yang kau buat. Kugambar sedekat mungkin dengan garis hijaumu, namun tak sampai bersentuhan. Tepat seperti diriku yang selalu ingin dengat denganmu, namun tak berani masuk lebih jauh menjamah kehidupanmu.
Tujuh menit berselang, kita pun selesai. Jangan bicara soal bagaimana tampaknya lukisan kita. Dibandingkan ketika kau melukis sendiri, goresan-goresanku hanya mengganggu. Tidak membantu sama sekali. Padahal tadi dengan mantap kuhakimi engkau ini dan itu. Kini, dapat kau lihat sendiri aku hanya lelaki bermulut besar. Aku tak bisa melukis, hanya membuat goresan-goresan yang mengikuti arah goresanmu, warnanya saja yang beda. Tiap kau membuat garis bentuk apa pun, aku membuat yang serupa, sejajar, sangat rapat, namun juga sangat hati-hati agar tak sampai bersentuhan dengan garis-garismu.
Kau tampak ingin menggores lagi, namun bingung hendak di mana menuangkan warna. Lukisan kita sudah memenuhi bidang empat kali satu meter persegi di atas air. Biasanya, tak pernah engkau melukis sepanjang itu.
"Menurutmu lukisan kita sudah jadi?" tanyamu.
Aku diam mengerutkan kening, pura-pura berpikir. Tidak, ini belum jadi.
Dalam pandanganku, lukisan itu hanya seperti dua lukisan yang ditumpuk jadi satu. Memang kita menggores garis demi garis bersama. Namun, tak ada persinggungan antara garisku dan garismu. Seharusnya, entah pada satu atau dua titik, garis kita bertemu, bercampur, bersinggungan. Baru dapat disebut lukisan bersama kita.
Aku bersihkan tanganku dengan ujung lengan baju, menghilangkan sisa sumba. Aku bermaksud mengaduk air agar warna garis-garis kita berpadu. Tapi, kau mencekal tanganku.
"Tunggu! Sebentar!"
Tangan kita bersentuhan. Tidak! Bahkan kau pegang tanganku.
Aku menunggu seperti yang kau minta. Tubuhku gemetar. Bola matamu memperhatikan lukisan kita. Mataku menatap bola matamu.
"Lihat, indah sekali!" sekali lagi kau berseru.
Dua detik berikutnya kau memandang ke arahku. Aku mengalihkan pandangan dari wajahmu ke arah lukisan kita.
Ya, lukisan kita sudah jadi. Aliran air yang bergerak perlahan membuat garis-garis kita yang awalnya hanya berdekatan jadi bersentuhan, lalu bercampur. Terjadi secara alami, tanpa perlu aku mengaduknya.
Beberapa saat kemudian kita sama-sama terdiam memandang bagaimana aliran air menyelesaikan lukisan kita. Sangat perlahan. Hingga kemudian, pelan-pelan pula lukisan kita itu terhapus, juga oleh aliran air yang sama. Air membawanya menjauh, menelan warna-warna sumba ke dalam arus.
Selama itu tangan kita masih bersentuhan. Tanganmu memegang tanganku. Entah engkau sadar atau tidak melakukannya. Atau, mungkin engkau sadar, namun pura-pura tidak sadar.
Sedangkan, diriku sendiri berada di antara sadar dan tidak sadar. Aku hanya merasa sangat bahagia saat itu. Bahagia karena bisa berada dekat denganmu, bahkan tanganku kau genggam. Saking bahagianya, sampai-sampai sulit kupercaya kebahagiaan seindah ini hanya tercipta karena kedekatan aku padamu. Pundak kita bersinggungan. Aku bisa mencium aroma rambutmu.
Setelah lukisan kita benar-benar menghilang, kau melepas tanganku. Aku terusik, namun sadar bahwa memang sudah saatnya kita kembali pada jarak. Aku beringsut menjauh. Hanya satu jengkal, namun cukup untuk membuat pundak kita tak lagi bersentuhan. Aroma rambutmu menjauh.
Engkau melirik mangkuk-mangkuk sumba, mungkin ingin mengajakku melukis lagi. Mungkin. Tapi, aku menampik kemungkinan itu. Aku pamit untuk kembali ke markasku, di bawah pohon kers. Di sanalah aku akan selalu berada, untuk mencuri-curi pandang ke arahmu, sembari menjaga diriku agar selalu dekat denganmu, tapi jangan sampai bersinggungan. Kalau nanti takdir menghendakinya, dengan sendirinya kita akan bersatu dengan cara yang lebih indah. Tidak perlu memaksa menyilangkan garisku dan garismu. Apalagi mengaduknya.
Di bawah pohon, aku mendongak. Kutemukan beberapa butir buah kers yang merah dan masak. Kupetik dua buah. Sebutir kumakan, sebutir yang lain aku lemparkan ke arahmu. Engkau menoleh, tapi aku pura-pura melihat ke arah lain, pura-pura bukan aku yang melemparnya. Lalu, kau berpura-pura membenahi rok putihmu-aku tahu sebenarnya kau sedang memungut buah kers yang kulempar. Dan, ketika kau kembali memalingkan wajahmu dariku, diam-diam engkau memasukkan buah kecil itu ke mulutmu.
Manis, bukan? Aku juga merasa buah kers itu benar-benar manis.
Hasan ID tinggal di Besuk Sempilan, Sukodono, Sidoarjo. Aktif di komunitas Malam Puisi Sidoarjo. Buku kumpulan cerpennya yang terbaru berjudul Monster atau Sesuatu yang Sejenis Dengan Itu
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)