"Belum, masih belum!" kata bidan Popon, membetulkan kain penutup paha Rohmaniah.
Menyusul omongan si bidan, Rohmaniah tiba-tiba memekik hingga pinggulnya berdekak. Bidan itu terkejut, Rosyid menatap si bidan putus asa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rosyid mengangguk, bidan Popon berlalu. Sejak tiba di rumah bidan Popon sekira pukul lima subuh Rosyid tak pernah duduk karena cemas berkepanjangan. Kini telah pukul sebelas siang tapi dia masih harus bersabar. Rosyid berusaha. "Sabar, Roh...istighfar, istighfar...." katanya.
Rohmaniah menatap lemah Rosyid. Tulang-tulangnya mulai dingin. Suaranya telah hilang. Satu jam lagi berlalu, Azan lohor berkumandang. Rosyid melihat cahaya mata Rohmaniah tambah pudar. Rohmaniah telah seperti terhimpit perutnya yang besar. Lalu tiba-tiba nafas Rohmaniah berdesing dan Rosyid tak mampu bersabar lebih lama lagi. Dia keluar dari bilik bersalin Rohmaniah dan melihat bidan Popon tengah duduk di teras, menggaruk-garuk eksim kakinya yang geli akibat tertiup angin sepoi-sepoi.
"Bu Bidan, maaf, anu...."
Bidan Popon memperhatikan Rosyid dengan dua bola matanya yang tak sama besar.
"Anu, Bu...Itu is...isteri saya ber...ber...desing...."
Ujung kuku bidan Popon menjauh dari eksimnya.
"Berdesing?"
"I...iya." Rosyid menghela napas.
Bidan Popon berdiri, berjalan cepat menuju bilik bersalin Rohmaniah. Dia lihat kepala Rohmaniah terkulai, sepuluh jari kaki tegang, tangan mengepal buku jari memutih. Tak ada suara berdesing, tak ada suara apa-apa. Gugup, dia buka kelopak mata Rohmaniah, bola mata itu menyembul, tak ada reaksi. Dia tempelkan kupingnya ke dada Rohmaniah, lalu tiba-tiba berdiri cemas menatap Rosyid.
"Berdesing apa! Dia mati!"
***
Rohmaniah berusia 41 tahun. Sedari awal bidan Popon telah memarahi Rosyid, berkata bahwa Rosyid telah menaruh api dalam rahim yang sudah berminyak.
"Kau tak punya perasaan!" kata bidan Popon waktu Rosyid membawa Rohmaniah yang muntah-muntah pagi itu. "Harusnya kau buat dia naik haji bukan hamil! Beranak setua itu bisa mampus dia! Aku bukan Tuhan, tapi aku bidan. Tiga puluh tiga tahun jadi bidan!"
Setelah Rohmaniah terkubur, omongan bidan Popon kerap terngiang-ngiang di pikiran Rosyid. Omongan itu membuat Rosyid kerap linglung, sedih, tak semangat makan, mandi, cari uang. Sepanjang hari dia ingat calon anaknya, waktu tidur dia mimpi calon anaknya. Di kedai pupuk Haji Warjono dia lebih suka melamun sambil merokok daripada memanggul karung pupuk. Dia dengar perempuan berpinggul besar gampang melahirkan. Rohmaniah punya pinggul besar, tapi Rohmaniah malah mati. Anaknya malah mati.
Anak. Rosyid sangat ingin punya anak. Tiga bulan linglung, akhirnya dia datang ke makam Rohmaniah untuk mohon ampun. Malam harinya, dia duduk di tembok irigasi bersama Narti. Malam itu malam minggu, ada suara jangkrik. Rosyid menatap wajah Narti, mata Narti yang kecil karena pipi yang kelewat gemuk. "Mau kau kawin sama aku, Ti?" katanya.
Narti tidak hanya punya pipi kelewat gemuk, tapi juga hidung, leher, bahu, pinggang, paha, betis. Usianya 28 tahun, tinggi 160, berat 98. Bau badannya menyengat karena tiap hari bekerja mengupas belasan kilo kulit bawang. Dia lebih muda 17 tahun dari Rosyid yang kurus keras dan hitam, tapi Rosyid adalah kesempatan pertama dan terbaiknya. Terkejut mendengar pertanyaan Rosyid, napas Narti sedikit sesak, hatinya mengucap alhamdulillah.
"Abang serius?" katanya dan saat melihat Rosyid mengangguk dia peluk Rosyid kuat-kuat. "Mau, Bang," katanya tersedu-sedu.
Rosyid telah jadi buruh panggul di kedai pupuk Haji Warjono selama dua puluh tahun. Gudang kiri belakang kedai pupuk itu telah lima tahun jadi tempat Narti bekerja mengupas kulit bawang. Narti dan almarhum Rohmaniah sama-sama buruh pembersih bawang hasil ladang yang juga dimiliki Haji Warjono. Waktu jadi laki Rohmaniah dulu Rosyid tak pernah bicara dengan Narti. Kini tiap hari dia bayangkan calon anaknya semontok Narti. Waktu kawin sama Rohmaniah dia cuma duduk di kursi Kantor Urusan Agama yang sepi, kini Rosyid ingin kursi pelaminan dan orgen tunggal. Tiap truk pemasok pupuk datang, dia panggul satu ton dari dua ton pupuk yang diturunkan.
Haji Warjono memperingatkannya, "Ingat umurmu, Sid! Mati kau nanti!" Tapi, Rosyid tetap berdiri gagah menggenggam gancu setiap truk pupuk itu datang. Empat bulan kemudian, dari upah memanggul seratus ton pupuk, akhirnya orgen tunggal beraksi, Rosyid duduk di kursi pelaminan bersama Narti.
Malam pertama mereka sungguh ramai. Dua kaki dipan kayu kamar Rosyid patah karena berat badan Narti. Rosyid kesal --bagaimana cara bikin anak kalau dipan rusak? Maka, dia cicil sebuah springbed yang pegasnya bergaransi sepuluh tahun dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Sejak springbed itu tiba, tiap-tiap melihat lutut bulat Narti dia empaskan Narti ke atasnya. Narti cekikikan saat pegas springbed itu memantulkannya kembali dan terus cekikikan. Dua bulan menikah, ketika suatu hari Narti tak cekikikan, tapi diam lalu muntah, Rosyid buru-buru membawa Narti ke bidan Popon.
"Berapa kali sehari bini kau yang ini makan?" tanya bidan Popon pada Rosyid yang telah setengah jam menunggu di teras rumah si bidan, harap-harap cemas.
"Em...empat, Bu Bidan," kata Rosyid.
"Eek?"
Rosyid bingung.
"Bini kau banyak makan tapi kurang eek! Sembelit berat. Tadi sudah kusuntik biar bisa eek. Besok kau kasih Yakult saja. Beli di warung."
Rosyid pulang, hatinya kecewa. Narti --setelah tahu Yakult bisa bikin buang air besar lancar-- mulai makan enam kali sehari. Beratnya naik 30 kg lagi dalam waktu tujuh bulan, dan Rosyid --meski tak punya lawan di kedai pupuk Haji Warjono-- mulai kewalahan mengempaskan Narti. Tapi, kewalahan bukan berarti gagal, dan Narti selalu cekikikan dan cekikikan dan cekikikan. Sejak keranjingan minum Yakult, Narti telah cekikikan selama dua tahun tanpa pernah muntah lagi. Rosyid mulai khawatir. Umurnya bertambah terus, sudah mau 48 tahun. Narti harus berhenti cekikikan dan muntah lagi. Dia kembali ke bidan Popon ingin tahu kenapa Narti tak hamil-hamil juga.
"Mana kutahu!" kata bidan Popon. "Tapi, tiga puluh tahun jadi bidan tak pernah kulihat perempuan sebesar bini kau beranak!"
Penasaran, atas saran Narti sendiri, Rosyid lalu pergi membawa Narti ke seorang dokter cina. Tak kurang empat kali mereka bolak balik sampai dokter cina itu berkata rahim Narti lengket. Haid Narti terlalu pink. Narti tak akan bisa beranak sekalipun Zhong Kui Dewa Pembasmi Setan yang mengempaskannya ke springbed Rosyid. Mendengar kabar ini Rosyid merasa seperti ditabrak truk pupuk. Sepanjang jalan pulang dari tempat praktik si dokter cina, Rosyid membisu di atas sepeda motor Haji Warjono yang dipinjamnya. Narti ketakutan melihat Rosyid, lalu belum pernah Narti menangis sekeras saat mereka tiba di rumah.
Narti baru saja menyanduk nasi ke piring waktu Rosyid mengambil piringnya kembali, menumpahkan nasi kembali ke dalam rice cooker dan berkata ingin cerai.
***
Haji Warjono mengingatkan seratus ton pupuk yang dipanggul Rosyid ketika tahu Rosyid akan menceraikan Narti. Tapi, "Risiko saya, Pak Haji" Rosyid menjawab. "Kalau saya tahu Narti tak bisa beranak tentu tak saya ajak kawin. Sekarang si Narti juga mau saya cerai."
Narti mau diceraikan karena Rosyid memberinya uang tiga juta. Uang itu kemudian dihabiskan Narti di Tangerang bersama sopir pick up salah seorang pembeli bawang Haji Warjono. Meski uangnya habis, Rosyid berusaha tak memikirkan Narti lagi. Dia kembali memanggul karung-karung pupuk Haji Warjono. Tapi, dia kini telah 48 tahun, tak sekuat dulu lagi. Dia sering harus dipijit. Satu atau dua kali seminggu dia harus memanggil Kusno tukang pijit langganan buruh Haji Warjono, atau Endang, janda tanpa anak umur 30 tahun, penjual kopi termos yang sering mampir ke kedai pupuk Haji Warjono.
Kusno berpengalaman memijit sepuluh tahun, cukup dibayar setengah bungkus Djarum Super. Endang seorang pemula, minta dua puluh lima ribu rupiah, tapi pijitannya lebih mujarab bagi Rosyid. Endang mulai menyingkirkan Kusno dalam dua bulan, lalu Rosyid tak pernah ingat Kusno lagi setelah duduk berdua dengan Endang di tembok irigasi, pada suatu malam sepulang mengajak Endang nonton pasar malam keliling.
Malam itu juga malam minggu. Ada suara jangkrik. "Mau kau kawin denganku, Ndang?" tanya Rosyid.
Sebagai pemula Endang telah memijit tak kurang empat puluh laki-laki. Dari semua laki-laki itu badan Rosyid yang paling keras. Cuma Rosyid yang tak menjerit-jerit waktu dipijit dan cuma Rosyid yang tak pernah mencolek pantatnya.
Endang tersenyum. "Abang serius?"
"Tergantung...."
Rosyid tak mau kecolongan dua kali. Dia harus memastikan bahwa Endang bisa hamil. Belum lima bulan sejak dia memeriksakan Narti ke si dokter cina jadi dia masih ingat syaratnya: Endang harus haid dulu. Endang paham, tapi Rosyid harus menunggu sekitar delapan hari, katanya. Demi sebuah haid merah segar Endang lantas makan asam jawa setiap hari.
***
Waktu si dokter cina berkata Endang bisa beranak, meski sempat ragu, Rosyid akhirnya kembali merasa cukup dengan kursi Kantor Urusan Agama. Beres ijab kabul yang hanya dihadiri Haji Warjono dan istri serta tiga orang buruh panggul lain --Ginanjar, Kholil, Jum'at-- Rosyid langsung tancap gas. Rosyid cuti kerja seminggu untuk mengempaskan Endang siang dan malam sampai kedua bola matanya kuning dan satu geraham Endang goyah.
Setiap satu ronde dengan Endang selesai, Rosyid membayangkan anaknya punya badan liat, mata bulat, rambut ikal serupa Endang, hidung lancip, dagu panjang serupa dirinya. Laki-laki atau perempuan tak masalah asal sehat, cukup tangan kaki. Laki-laki atau perempuan akan dia sekolahkan, dia suruh mengaji. Dia bersyukur bisa jadi seorang buruh panggul, punya kerja halal, tapi anaknya musti jadi guru, pegawai negeri, camat, mubalig, atau juragan yang umrah tiap dua tahun sekali seperti Haji Warjono. Dia akan memastikan anaknya jadi orang. Laki-laki atau perempuan kalau malas sekolah dan mengaji akan dia hajar. Dia tak mau mati sebagai buruh panggul tanpa anak. Setiap berdoa usai mengempaskan Endang dan salat, dia minta Tuhan memberinya seorang anak agar dia bisa mati bahagia.
Siang malam mengempaskan Endang sungguh membuat Rosyid semaput. Narti hanya cekikikan, Endang tidak demikian. Endang juga suka mengempaskannya dengan telak. Rosyid merasa usahanya kali ini sungguh berat, antara hidup dan mati, dan kini dia sungguh berharap sukses, doanya dijabah. Dia tunggu Endang muntah, dan Endang akhirnya muntah dua bulan kemudian.
Bidan Popon adalah orang pertama yang tahu Endang hamil. Sembilan bulan kemudian dia juga yang pertama kali didatangi Endang. Hari itu hari Kamis pukul sepuluh pagi. Rosyid telah berangkat ke kedai pupuk Haji Warjono sedari pukul tujuh. Endang tengah menimba air sumur mau membilas pakaian yang dicucinya. Baskom baru terisi setengah, tiba-tiba Endang merasa ingin buang air besar. Meski belum sepuluh menit dia puas buang air besar. Merasa curiga dia tinggalkan cuciannya. Rumah bidan Popon hanya berjarak seratus meter dari rumah Rosyid. Dia buru-buru ke sana.
Rosyid menjatuhkan karung yang sedang dipanggulnya ketika melihat Lilis, asisten bidan Popon, tiba di kedai pupuk Haji Warjono. Lilis datang pakai sepeda motor. Rosyid buru-buru menggantung gancu setelah mendengar kabar dari Lilis. Membonceng sepeda motor Lilis, kurang sepuluh menit Rosyid sampai di halaman rumah bidan Popon. Sendal jepit sebelah kirinya putus karena nyaris jatuh tersandung kucing bidan Popon yang sedang malas-malasan di teras. Rosyid gugup bukan main, tapi masih awas posisi bilik bersalin bidan Popon. Dia lihat bidan Popon sedang duduk mengisi TTS di samping Endang yang sedang tidur-tiduran ditiup kipas angin yang menggeleng-geleng pelan di atas lemari obat.
"Belum! Masih lama!" Pelototan dan suara bidan Popon menyambut kedatangan Rosyid.
Rosyid menelan ludah menatap Endang. "Sabar ya, Bang...." kata Endang kemudian waktu Rosyid mengusap-usap kepala dan memijitnya. Lalu dia ingat tas kain berisi daster, gurita, softex besar, selimut, dan baju bayi yang sudah disiapkannya sejak bulan lalu, dan minta Rosyid pulang mengambilnya. Rosyid pulang buru-buru. Endang masih tidur-tiduran ditiup kipas angin. Bidan Popon masih mengisi TTS ketika dia kembali. Dia letakkan tas yang dibawanya di bawah ranjang Endang, lalu kembali mengelus kepala dan memijit Endang. Lima belas menit, dia permisi keluar.
Kucing bidan Popon melengos saat Rosyid tiba dan duduk di kursi teras. Memandang halaman gersang rumah bidan Popon, Rosyid berusaha menghalau bayangan anaknya lahir tak cukup jari tak cukup tangan kaki. Dia gemetar dan istighfar saat terbayang Endang berdesing seperti Rohmaniah dulu, lalu membakar rokok dan mematikannya dan menyalakannya kembali. Perutnya tiba-tiba mulas tiba-tiba tenang lagi. Kakinya kadang-kadang lemas bukan main, kadang-kadang bergoyang sendiri tak bisa berhenti. Dia isap rokoknya dalam-dalam, dia embuskan asapnya kuat-kuat.
"Puss...." dia panggil kucing bidan Popon, tapi kucing itu kembali melengos, berdiri, dan pergi.
Satu menit serasa satu abad bagi Rosyid. Empat jam berlalu, lepas azan asar, waktu duduk dan merokok di teras untuk kali ketujuh, tiba-tiba Rosyid mendengar teriakan Bidan Popon. Jantungnya melompat lebih cepat dari kakinya waktu dia buru-buru masuk. Bidan Popon tengah menguap besar ketika dia tiba, dan Rosyid heran melihat Endang telah berdiri menjinjing tas. "Orokmu batal keluar sekarang," dia dengar bidan Popon berkata. "Pulang saja. Aku ngantuk!"
Bingung campur kecewa dia menoleh, minta penjelasan pada Endang. "Sabar...." kata Endang sekali lagi, hanya itu, dan memakai sendalnya.
Eimond Esya tinggal di Bandung, menulis biografi, puisi, dan cerpen
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)