Penulis Kesedihan

Cerita Pendek

Penulis Kesedihan

Alivia Sasa Muda - detikHot
Sabtu, 22 Des 2018 10:02 WIB
Penulis Kesedihan
Ilustrasi: Nadia Permatasari/detikcom
Jakarta - Aku ingin menjadi penulis karena seorang penulis. Dari setiap tulisannya yang aku baca tak ada perasaan lain yang muncul selain untuk memeluknya. Banyak sekali hal yang ia tulis. Terkadang ia menuliskan kisah neneknya yg bergabung di klub gosip. Kadang ia bercerita tentang ayahnya yang menjadi badan mengumpul dana kesedihan. Pernah juga ia bercerita tentang Lus yang gemar berlari dan cerita yang masih lekat di benakku adalah Tali. Pasangan bahagia dari sebuah pernikahan yang tidak menginginkan kebahagiaan.

"Pura-puralah bahagia, Ta."

"Tapi aku tidak ingin bahagia."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Maka berpura-puralah."

Tali dan hidupannya adalah contoh dari kehidupan yang sempurna. Suaminya adalah lelaki paling baik hati di dunia. Hidup mereka sempurna. Mereka tidak pernah bertengkar. Dua anak mereka tumbuh ceria dan nyaris tanpa mengalami masalah apa-apa. Mereka dua bocah lelaki yang periang, baik di rumah maupun di sekolah. Masa kecilnya juga sama seperti itu. Ia lahir dalam keluarga yang memberi segalanya. Seorang bapak yang memastikan ia tidak kekurangan apa-apa. Seorang ibu yang mengatur segala sesuatu yang terbaik bagi masa depannya. Ibu dan bapaknya pasangan paling bahagia dibanding orang tua teman-temannya. Tali menjadi anak yang manis dan penurut persis seperti pesan ibunya. Dengan itulah ia akan mendapat tujuan hidupnya, bahagia. Tapi Tali tak ingin bahagia.

Setiap orang yang mengetahui riwayat keluarga itu pasti cemburu. Mengapa semua keberuntungan mengarah kepadamu, Tali. Andaikan aku jadi kau. Lalu Tali akan menjawab, semoga semua seperti yang terlihat. Satu-satunya hal yang tak pernah dikomentari Tali adalah kehidupan orang lain. Dia tak mengenal istilah rumput tetangga lebih hijau dalam hidupnya.

"Kita berada jauh dari kehidupan orang. Tidak setiap saat bersamanya, tidak tahu jalan hidupnya, tidak memiliki perasaannya. Lantas bagaimana aku bisa percaya jika kehidupan orang lain lebih baik? Lagipula aku tak memiliki waktu untuk memikirkan itu. Aku sibuk memikirkan diriku. Bagaimana caranya luka, bagaimana rasanya menjalani hidup yang tak bahagia," jawaban Tali ketika suatu kali aku pernah menanyakan pendapatnya tentang seseorang yang ada di luar jendela kaca kala hujan dan berlari-lari di pinggir jalan bahkan ketika orang-orang di jalanan sibuk menepi, menyelamatkan diri dari basah.

Dan, demi ucapan itu aku tak pernah mengerti. Seharusnya rasa cinta menumbuhkan kekuatan, perasaan dicintai. Cinta macam apa yang menumbuhkan perasaan bersalah? Makin banyak cinta yang didapat. Makin bulat self contemp terbentuk. Perasaan jijik terhadap diri sendiri.

"Apa kau hidup di tempat orang lain, Ta?" ia mengambil secangkir kopi yang ada di hadapannya. Memegang gagang cangkir dengan dua jari, telunjuk dan jari tengah yang ditarik masuk.

"Berapa pertanyaan lagi yang akan kau pendam sendiri?"

Jika sudah seperti itu, Tali terdiam. Ia kembali memandang lepas ke depan menembus dinding kaca, mengarahkan sembarangan pandangannya keluar sambil liar memikirkan, entah apa yang ada di pikirannya. Ia memang selalu terlihat berpikir. Matanya penuh akan pertanyaan dan mulutnya selalu terkunci, berupaya sekuat tenaga agar tak keluar. Satu-satunya hal yang ia syukuri adalah Tuhan masih menyimpannya. Tak banyak, tak ada orang lain yang tahu. Hanya aku dan suaminya yang tahu jika Tali menginginkan hidup yang tak bahagia. Dan, aku adalah pihak yang tak tahu bagaimana menyikapinya. Haruskah aku membiarkannya atau mengajarkan tentang bahagia? Lagipula siapa yang tahu tentang kebahagiaan orang lain? Aku juga tak pandai dalam hal ini. Aku juga adalah seorang yang Tali bicarakan --yaitu golongan orang yang membicarakannya-- menganggap segala keberuntungan berarah kepadanya sebelum kami bertemu dan sekarang berteman dan dia bercerita tentang kehidupan yang tak bahagia.

Aku bertemu dengan Tali karena hobi kami yang gemar mengunjungi kafe saat senja di ujung jalan perempatan yang dibangun dengan dinding kaca. Aku suka menikmati kopi kala senja. Tali suka menikmati senja ditemani secangkir kopi. Meski terlihat sama tujuan kami jelas berbeda. Aku, asalkan bersama secangkir kopi bisa menikmatinya dimana saja. Sedangkan Tali, meski dengan puluhan inovasi kopi tersuguh di hadapannya jika dia tidak mendapatkan kursi di dekat jendela --tempat duduk favoritnya karena senja terlihat jelas dari sana-- ia akan keluar dan mencari tempat lain yang mampu memperlihatkan senja secara utuh, tanpa gangguan. Atas kebiasaannya itu pemilik kafe lebih sering mengosongkan --entah inisiatif sendiri atau telah dipesan Tali-- tempat duduk pojok dekat jendela itu. Kala itu kafe penuh, satu-satunya bangku kosong adalah kursi di hadapan Tali. Dan demi menikmati secangkir kopi aku memberanikan diri mendekatinya. Itulah kali pertama aku bertemu dengannya. Hingga kini, tiba-tiba tempat itu menjadi tempat favorit kami. Aku tak perlu lagi memikirkan bangku mana yang akan kugunakan untuk menikmati secangkir kopiku selanjutnya.

***

Seharusnya kau terlahir sebagai ibuku, Tali. Ibuku adalah seseorang yang tak bahagia, dan aku pikir ayahku juga. Keluarga kami adalah keluarga yang tak bahagia. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah aku selalu sarapan pertengkaran, antara ibu dan ayahku. Sungguh hal-hal penting yang mereka perdebatkan seperti sara, mengapa mudah sekali meludahi agama, mengapa ada orang yang mengepel musala hanya karena telah diduduki oleh saudaranya, mengapa ada anak ulama besar yang tak berhijab, mengapa ada kabar harga pangan mahal padahal beras masih 10.000 rupiah sejak tiga bulan lalu dan satu potong tempe berharga empat ribu. Berat memang yang mereka bicarakan. Mula-mula seperti diskusi lalu suara mereka meninggi seperti pidato kemudian semakin riuh seperti lomba debat dan jika suara-suara itu mulai berkurang akan ada suara baru, akustik dari benda-benda di sekitar. Pukpuk, pyar, glodak, grumbyang. Segala aneka suara ada di dapurku sedari pagi.

Dan, jika sudah seperti itu aku akan bangun dari tidur, mengendap ke kamar mandi untuk cuci muka, mengambil ransel di kamar dan berangkat sekolah. Sebelumnya tentu saja telah kusemprotkan minyak wangi untuk mengelabui aroma bantal yang masih tertinggal di tubuhku. Aku memang jarang mandi saat sekolah dasar dulu dan teman-temanku mungkin tidak ada yang tahu, atau lebih tepatnya tidak peduli karena aku juga tidak pernah mempedulikan mereka. Sama tidak pedulinya dengan orangtuaku. Mereka mungkin tidak merasa telah kehilangan anak karena setiap dari pulang sekolah tak ada satu pun yang bertanya perihal ketidakberadaanku. Atau, mungkin itu yang sebenarnya mereka harapkan, ketidakberadaanku. Ah, Tali seharusnya kau menjadi salah satu dari kami. Jadi ibu, aku atau jadi temanku saja. Pasti menyenangkan jika saat seperti itu memiliki teman.

"Tali, bagaimana jika aku menjual kesedihan?" ucapku mengembalikan kesadarannya.

"Aku akan menciptakan kesedihan dan menjualnya padamu?"

"Aku setuju."

Maka, sejak itu aku terus melahirkan kesedihan. Mudah sekali menciptakan kesedihan dengan menyakiti, dan menyakiti adalah hal lebih mudah lagi. Aku awali dengan pertemanan macam lingkunganku, yang dekat, bikin nyaman, membuat ketergantungan lalu menghilang. Tak kulihat budaya sebangsat itu selain di tempatku. Betapa murahnya perasaan dipercandakan. Lalu aku lanjutkan dengan kehamilan di luar nikah, aku lemparkan bayi yang baru kulahirkan dari salah satu toilet di lantai tiga sebuah mall, dan dia selamat. Masih belum puas, kubakar sebuah bendera keagamaan agar pertumpahan terjadi. Ini masih satu golongan. Aku perlu menciptakan sesuatu yang menarik bagi orang-orang seperti Tali dan aku terpikir tentang ide yang sangat cemerlang.

Aku ambil bahan golongan satu yaitu 4-klorometkatinon atau sering dikenal dengan 4-CMC. Aku bungkus cairan warna biru itu dalam botol dengan nama Blue Safir. Selain dalam bentuk cair, aku juga menyediakan dalam bentuk serbuk. Untuk mendapat khasiat yang diinginkan, campur serbuk itu dengan minuman, dan jika kau memasang label Show White kau bisa menjual dengan harga enam ratus ribu per gelas. Aku katakan pada Tali bahwa ini adalah pangkal dari kesedihan. Seolah-olah ia memberi efek euforia, merasa senang, percaya diri, semangat. Jika kau terus menggunkannya Tali kau akan merasa agresif, gelisah, pusing, panik, halusinasi, insomnia, mulut kering dan jika kau menggunakan dalam jumlah besar, bisa jadi kau sampai pada kisah yang paling tidak bahagia, stroke, hingga koma. Itu pun jika koma masuk dalam kategori hal yang tak bahagia.

Aku masih terus menulis kisah sedih, kisah-kisah yang tidak bahagia. Dan, Tali terus saja membelinya. Aku tak tahu jika kesedihan bisa dijual. Dari semua kisah tak bahagia yang kujual padanya, aku berharap Tali telah menemukan ketidakbahagiaannya. Siapa yang tahu? Sebab aku berada jauh dari kehidupannya. Tidak setiap saat bersamanya, tidak tahu jalan hidupnya dan tidak memiliki perasaannya.

Alivia Sasa Muda tinggal di Bojonegono, Jawa Timur

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads