Kupu-Kupu dari Sebuah Perahu

Cerita Pendek

Kupu-Kupu dari Sebuah Perahu

A. Warits Rovi - detikHot
Sabtu, 15 Des 2018 11:40 WIB
Ilustrasi: Denny Pratama Putra/detikcom
Jakarta - Ada senyum menggantung di masing-masing bibir para pekerja. Mata mereka tajam terpaku mengamati sebuah perahu kayu yang telah berhasil mereka buat di atas bukit selama berbulan-bulan.

Lelehan terakhir buncah peluh di garis wajah mereka kering oleh sapuan jari dan silir angin. Kabut hitam mulai berarak, mematah kemarau panjang yang bertahun menjambak pohon kurma, meretak tanah, dan melukis bibir dengan selaput putih yang ranggas.

"Mari kita masuk ke perahu ini agar selamat dari banjir," suara Nuh dilinting angin. Ia tetap berdiri di geladak kapal, seraya memutar tasbih, tak bosan mengajak kaumnya segera naik ke atas perahu. Sebagian kaumnya gegas masuk dengan kecemasan menatah wajah, mulut mereka beristighfar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagian kaumnya yang lain malah tertawa, terbahak, meludah, bermuka kecut, pergi jauh meninggalkan Nuh, menuju pemukiman penduduk dengan penuh keyakinan; tak akan ada banjir di daratan Mesopotamia.

Angin lembap menyapu kulit dengan tempias rintik halus. Kabut bergulung, sesekali petir menyentak. Nuh kian berwajah cemas, mondar-mandir di geladak perahu, ujung jubahnya yang terbuat dari permak kulit domba berkali-kali memecut gigir kayu.

Kecemasannya bukan karena banjir hendak bertamu, tapi karena kasihan kepada kaumnya yang tidak taat; mereka yang melenggang dengan siul di bibir, berjalan ke pemukiman seraya merapal lagu, dan mereka beranggapan bahwa apa yang dikatakann Nuh hanyalah igauan orang tua yang sama sekali tak bermakna.

Jarum-jarum gerimis menebar ke punggung tanah, angin kencang menabuh segala benda. Ratusan jenis binatang pun mulai masuk ke dalam perahu.

Rambutmu basah, air menjurus ke ujung, menetes ke pinggulmu yang terbalut kulit domba. Kau masih berdiri di mulut kapal, bimbang antara masuk atau tidak. Sesekali kau menoleh ke arah yang jauh, pada sekumpulan orang-orang yang tak ikut Nuh.

Aku tahu kau sedang merindukan keluargamu di sana, yang sama sekali tak peduli pada kata-kata Nuh. Sementara, membaca matamu aku sangat paham kau ingin terus bersamaku, hingga nanti seusai banjir kita menikah, dan merayakan cinta ini dengan menombak ratusan domba dan memanggangnya di tepi sungai Eufrat atau Tigris.

Sekali lagi matamu menyipit, disertai kerut dahi yang menumpuk bagai anyaman lidi menyatu di tangan seorang pengrajin sapu, saat kau melihat tubuhku, dikerubung ulat dengan liuk tubuh yang tekun bergerak dari satu organ tubuh ke organ yang lain. Ulat warna-warni dan sebagian berbulu.

"Campakkan ulat itu cepat!" pintamu sambil membuang pandang ke arah hujan.

"Ulat ini juga ingin selamat dari banjir, sebagaimana kita, bersabarlah sejenak, tak lama lagi, nanti setelah banjir reda, aku akan melepas ulat-ulat ini ke lembaran daun."

"Aku jijik!" kau seperti hendak melangkah pergi menerobos hujan. Aku menarik lenganmu, dan tangan kananku lekas mengusap rambutmu yang basah. Matamu pun basah, seiring suara orang-orang setengah berteriak, saat perahu berguncang, dan pelan mengapung. Hujan kian deras. Tangismu juga deras. Orang-orang berdoa. Beberapa binatang memekikkan suaranya ke lambung perahu. Di luar, angin limbubu menusuk pusar air, menyebabkan suara arus menggelegak.

Aku kian menarikmu ke dalam perahu agar tubuhmu selamat dari jangkauan hujan. Dengarlah baik-baik, ulat ini kutemukan di dusun al Waqsyah saat aku mencarah kayu. Ulat-ulat ini melata di daun kering, sambil terus menggerakkan tubuhnya ke arah bukit tempat Nuh membuat perahu.

Aku menduga, ulat-ulat ini sudah puluhan hari berangkat dari istananya, berjalan sekuat tenaga untuk segera sampai di perahu Nuh agar selamat dari banjir. Ulat-ulat ini adalah salah satu jenis binatang yang percaya pada kabar yang Nuh sebar, bahwa banjir besar akan datang. Semua diperintah menyelamatkan diri ke dalam perahu.

Saat itu aku yakin, ulat-ulat itu butuh waktu lima hari lagi untuk sampai ke dalam perahu Nuh. Khawatir ia akan digerus banjir di perjalanan, kusilakan ulat-ulat itu merayapi tubuhku, biar mencari tempat khusus yang ia suka di antara kerontang dada, lembah lekuk sepasang pipi, datar lengan ke jari, atau di mana pun yang mereka suka.

Kurelakan tubuhku jadi semesta luas bagi ulat-ulat. Meliuk mencari makan. Sesekali mencipratkan kotoran pada tubuhku, seperti sengaja membedakiku dengan cairan amis. Tapi, tak apalah asal mereka menemukan kemakmuran hakiki pada tubuhku.

Kau harus ingat, janji kita di lereng gunung Ararat, hari itu hujan membilas bumi dengan salju. Aku menyobek selembar kulit kijang untuk tubuh kita berdua. Kita sama-sama berada di mulut sebuah gua senyap; kau duduk di atas punggung batu, aku jongkok membolak-balik daging kijang yang ditusuk serat tajam bilah-bilah pohon kurma, tepat di atas perapian yang melenggokkan asap di tengah-tengah kita.

Kau terus nyerocos, bibirmu berbusa fatwa, bahwa setelah kita sama-sama menghancurkan berhala dan semata percaya kepada-Nya. Kita bertekad untuk mencintai-Nya dengan mencintai segala makhluk yang bernyawa, dalam rupa menyelamatkannya dari mara bahaya, sebab katamu, merawat dan menyayangi makhluk-Nya adalah bagian dari ibadah.

Kala itu aku mengangguk, sembari kuatur potongan kayu yang membentuk lingkaran sumbu api yang kadang menyala kadang padam, kecuali asap putih memaram kulit kita. Lantas, kugosok kembali sepasang batu hingga ada api memercik, dan menghidupkan kembali ujung potongan kayu yang padam.

Sembari mengunyah daging kijang, kau terus bertutur perihal hidup ini, yang sesungguhnya hanya permainan belaka, dan tidak akan ada apa-apanya bila tidak diisi dengan mengabdi kepada-Nya. Ada serat daging di sela gigi depanmu. Aku tak mengusik bicaramu hingga tuntas, tentang bagaimana cara hidup yang benar di dunia fana ini.

"Karena dunia ini pada akhirnya sama seperti ini," ucapmu menunjukkan batang bilah pohon kurma yang gosong setelah dilalap api dengan potongan daging. Dan, kau mencampakkan tusuk daging itu ke rimbun rumputan.

"Kita bisa makan daging karena kita telah berburu, seperti itu hidup," lanjutmu bersamaan saat tanganmu meraih kembali sebatang daging panggang di atas daun lontar. Aku jadi pendengar takzim. Mulutmu melebar, menyempit antara melahap daging dan menebar tausiyah.

Aku percaya pada kata-katamu, sebab kau keturunan Ham, si agamawan itu. Tapi, ia jadi pembangkang Nuh karena beda keyakinan, sedang setelah keluargamu pindah ke Qarda, kau memilih hidup sendirian, berburu sepanjang hari, menaklukkan hutan dan sabana. Aku bertemu kamu saat berburu, jauh lebih bahagia tinimbang melihat anak panah menembus seekor kijang. Saat itu kau berjanji untuk taat pada Nuh sebagaimana aku.

"Kau dulu pernah berjanji untuk selalu taat kepada Nuh. Kau tahu? Nuh memerintah kaumnya untuk naik ke perahu ini, dan jika berkenan masing-masing kaumnya sebisa mungkin membantu binatang lemah yang juga hendak menyelamatkan diri dari banjir. Dan, ulat ini adalah salah satu binatang lemah, aku ingin membantu menyelamatkan ulat ini hingga nanti tiba di pulau yang aman," suaraku menyaingi entak hujan.

Kau diam, kecuali melirik wajahku sambil melengkungkan bentuk bibirmu yang terkatup rapat. Matamu menyala garang di antara terpaan helai rambut basah yang sedikit keriting.

Aku menarik lenganmu untuk semakin merapat ke dalam perahu. Kau pun mengikuti tanpa sepatah kata pun. Aku tidak tahu perahu yang kita tumpangi sudah sampai di mana. Selalu ada getaran dan goncangan keras, seolah perahu hendak oleng, gelombang besar dan angin kencang mengobok-obok perahu, bagai sutil ibu mengaduk kasar sebiji kacang di perut kuali.

Tiap bibir bergetar meneriakkan zikir, padu dengan suara panik binatang-binatang. Semua mata melirik cemas luapan air yang menutupi seluruh permukaan bumi, sedang langit berbedak mendung tebal, hitam, dan kelam. Pecahan cahaya kilat serupa akar tipis yang memburai dari jantung awan, sekali bias dengan suara sentakan petir yang memekak telinga.

"Sebab cinta itu harus luas, Sayang. Tak terbatas hanya aku denganmu. Harus bisa membawa keteduhan ke yang lain, ke lingkungan sekitar kita hidup, kepada alam, tumbuhan dan hewan. Izinkan ulat-ulat di tubuhku ini, memetik berkah cinta kita hari ini, biar ia berdoa untuk kita," sedikit kuantar suaraku ke telingamu, bersamaan saat kuelus rambutmu yang basah. Kau hanya melirik seekor ulat di dada kiriku. Lantas, kau mengangguk perlahan seperti gerak yang dipaksakan.

Dan, entah atas nama apa, beberapa saat kemudian, dan aku hampir tak percaya, kau tiba-tiba bersandar ke dadaku. Membiarkan pipimu rebah menyentuh ulat-ulat yang berkeliaran di tubuhku. Matamu linang, hangat merembes ke palung dadaku, membuat ulat-ulat itu sedikit menggeser tubuhnya ke bahuku, dan dua ekor mulai meliuk ke rambutmu.

"Ini semua kulakuan untukmu," ucapmu lirih. Kutangkap suaramu di sela sentakan petir, saat hangat napasmu merambat ke bibirku.

Kita saling dekap di antara hiruk-pikuk dan jeritan. Kita menyatu dengan nasib ulat-ulat. Di atas perahu takdir kehidupan kita sejatinya sama, tak ada ulat dan manusia. Satu sama lain tak ada yang lebih berharga, selain yang bisa mengagungkan cinta. Kita satu nyawa. Satu pejam mata. Tubuh kita bersandar ke tiang perahu.

Kau menggeliat saat Nuh memanggil Kan'an dengan suara nyaring. Matamu yang nanar memandang ke depan. Aku pun menoleh, dengan mata temaram menahan ngantuk. Nuh berdiri di haluan, mengangkat tangan ke arah putranya yang menyelamatkan diri ke atas bukit. Tapi, Kan'an tak peduli, hingga ia digulung gelombang.

Sudut mata Nuh lembap. Linang bening air dengan garis menikung turun membasahi batang hidungnya. Ia menggeleng sambil beristighfar. Mundur ke belakang, seiring mata kita lelap kembali, dan entahlah mengapa ulat-ulat di tubuh kita turut tidur juga. Dan, satu-satu mengeras jadi kepompong.

Hingga tiba hari ini; banjir susut menampakkan pulau-pulau yang mengapung sunyi di bawah payung langit kuning wortel. Bibir perahu Nuh mencium lembut puncak Gunung Al-judi. Lalu, beribu kaki beranjak turun. Binatang dan manusia. Langkahnya sama-sama berkecipak di atas air.

"Dari ketaatan, kalian dapatkan kehidupan," ujar Nuh di atas tiang. Berwajah cerlang, ia melihat kaumnya dan sejumlah binatang selamat dari banjir besar.

Dan, dari tubuh kita kupu-kupu beterbangan, berkepak, berkejaran di pelipir layar. Saat kautoleh tubuhku dan kutoleh tubuhmu, hanya kulit kepompong diam mengikat benang ke kulit kita. Ulat-ulat itu sudah tiada.

"Ulat adalah ujian, bagi mereka yang sabar menunggu waktu jadi kupu-kupu," tiba-tiba Nuh berkata begitu.

Sumenep, 09.18

A. Warits Rovi lahir di Sumenep-Madura, 20 Juli 1988. Guru Bahasa Indonesia di MTs Al-Huda II Gapura. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com

(mmu/mmu)

Hide Ads