Lelaki yang Memesan Dua Porsi

Cerita Pendek

Lelaki yang Memesan Dua Porsi

Shabrina Ws - detikHot
Sabtu, 09 Jun 2018 10:14 WIB
Ilustrasi: Denny Pratama/detikcom
Jakarta - "Sudah dibayar," kata seorang penjaga kafe dengan tudung merah di kepalanya.

Aku menatapnya tak mengerti, lalu beralih pada secangkir kopi dan paun isi selai kacang di hadapanku.

"Siapa?"

"Faustino." Wanita itu tersenyum ramah.

"Tapi, saya datang sendiri?"

Penjaga kafe dengan wajah manis itu kembali tersenyum, mengucapkan kata selamat menikmati, kemudian meninggalkan aku yang masih terbengong sendiri.

Faustino? Aku tidak mengenal nama itu. Aku baru satu jam menginjakkan kaki di tanah yang pernah menjadi bagian dari Indonesia ini. Lorosa'e. Apakah ini kejutan dari orang kantor yang sengaja mengerjai?

Aku kembali menatap kopi dan paun di hadapanku.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Faustino.

Rasanya aneh sekali kalau aku menerima begitu saja pemberian orang yang tidak kukenal. Untuk alasan apa dia membayari makananku? Lagi pula di mana orang itu sekarang?

Aku mengedarkan pandangan, dan penjaga yang tadi melayaniku terlihat sibuk. Ini memang jam makan siang. Semua meja di ruangan penuh. Kecuali satu kursi di hadapanku.

Kafe ini berada di ruas Praia dos Coqueiros, Dili. Menghadap langsung ke Pantai Kelapa. Letaknya di tengah-tengah antara gedung Palacio do Governo dan Jardim Lecidere. Dari meja tempatku duduk, aku bisa melihat ke laut lepas di seberang jalan yang siang ini telihat padat.

Aku mendapat informasi dari sebuah blog yang kubaca, bahwa di sini ada kafe yang menyajikan kopi asli Ermera. Konon, kopi itu sangat disukai orang Jepang. Salah satu negara pengimpor. Kopi dengan kafein tinggi, acidity yang rendah dan aroma yang istimewa.

Mengingat kalimat itu, refleks tanganku mengangkat telinga cangkir, dan mendekatkan ke hidungku. Aromanya memang tidak jauh beda dari kopi-kopi yang pernah kuminum. Karena penasaran, aku menyesapnya pelan. Memang segar, wangi, gurih, dan...kutemukan sesuatu yang tertinggal di lidahku. Bukan kecut, tapi sesuatu yang membuat ingin menyesap lagi.

Faustino?

Tiba-tiba nama itu muncul dalam kepalaku. Kalau dari namanya dia pasti seorang laki-laki.

Didera rasa penasaran, juga karena aku telah menghabiskan secangkir kopi dan sepotong paun itu, akhirnya aku menunggu kafe sepi, dan menemui penjaganya.

"Saya masih belum mengerti mengapa Faustino membayari pesanan saya."

Wanita di balik meja tersenyum. "Dia memang selalu begitu, Nona. Memesan dua porsi setiap datang ke sini, menahannya satu, lalu menitipkan pada saya untuk memberikan kepada siapa saja yang mengunjungi kafe ini. Dan, hari ini saya memilih Anda sebagai penerimanya."

"Apakah dia datang setiap hari?"

"Kadang dia datang tiga hari berturut-turut, kadang seminggu sekali, bahkan sebulan sekali."

"Apakah orang-orang yang menerima tidak heran?"

"Kebanyakan begitu."

"Faustino memberi alasan kenapa melakukan semua itu?"

Wanita berambut ikal dengan mata tembaga itu menggeleng.

"Lalu, gimana caranya saya bisa mengucapkan terima kasih?"

"Nanti akan saya sampaikan."

Sebenarnya aku masih ingin bertanya banyak, tapi jemputan dari kantor sudah datang. Aku pamit, mengatakan bahwa kopinya enak, dan mungkin lain kali aku akan mampir.

***

Di hotel tempat menginap, aku masih memikirkan tentang Faustino. Kenapa dia melakukan hal itu? Tapi, yang jelas dia tidak mengenalku, dan aku hanya kebetulan saja mendapat traktiran dari dia.

Pagi harinya sebelum ke kantor, aku naik taksi menuju Kafe Ermera. Kupikir hal yang tepat sarapan sambil menunggu Faustino. Atau, setidaknya aku bisa mendapatkan cerita yang lebih tentang dia.

"Yang kemarin ke sini kan?" Penjaga kafe itu masih mengenaliku.

"Elisa," kataku.

"Marsela." Kami bersalaman. "Faustino belum ke sini lagi."

Aku tersenyum, Marsela dapat menebak kedatanganku dengan tepat.

"Akan kukatakan padanya, bahwa seorang dari Indonesia bernama Elisa mencarinya."

"Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih."

"Hanya itu?" Marsela mengerling.

"Ya, sejujurnya penasaran dengan yang dia lakukan."

"Faustino tidak pernah mengatakan alasannya."

Aku memesan menu seperti kemarin. Secangkir kopi dan paun selai kacang. Namun, hingga minuman dan makananku tandas, Faustino tidak muncul juga.

Lalu, aku kembali datang keesokan harinya. Dan, Marsela tetap mengatakan hal sama, "Faustino belum ke sini lagi."

Aku hanya punya waktu lima hari di Dili. Dan, selama itu pula aku selalu mengunjungi Kafe Ermera di ruas Praia dos Coqueiros itu. Jumat sore aku harus pulang.

"Sayang sekali Faustino belum ke sini lagi." Aku menangkap raut penyesalan Marsela.

"Saya harus kembali ke Indonesia, pesawat saya berangkat sore nanti. Sampaikan salam terima kasih saya padanya."

"Pasti. Singgahlah lagi jika suatu hari ke Dili."

Sampai di hotel, saat memasukkan semua pakaianku ke kopor kecil, tiba-tiba aku berpikir untuk menunda keberangkatan hingga hari Minggu. Barangkali dua hari itu bisa mempertemukanku dengan Faustino.

Aku sendiri tidak mengerti kenapa begitu ingin bertemu dengan orang itu. Aku tak mau meninggalkan tanah ini dengan penasaran yang terus mengepungku.

Marsela, penjaga kafe itu bahkan sangat terkejut ketika aku kembali ke sana pada pagi harinya. Tapi, kabar tentang Faustino belum juga kudapat. Artinya, lelaki itu belum datang ke sana lagi. Aku menggunakan setengah hari untuk jalan-jalan di kota paling padat di negara ini. Manatap marka-marka jalan dengan bahasa Porto yang susah kulafalkan.

Sore harinya, sebelum kembali ke hotel aku mampir ke Kafe Ermera lagi.

"Elisa?" Marsela menyambutku dengan wajah cerah. "Faustino baru saja ke sini. Sekitar satu jam yang lalu."

Dadaku berdegup tak beraturan.

"Dia akan datang lagi besok pagi. Kau bisa?"

***

Waktu berjalan lambat menuju pagi. Seperti apa Faustino itu? Apa yang akan kukatakan padanya jika kami bertemu? Aku yakin, ini kegilaan pertama yang kulakukan selama 30 tahun 2 bulan 18 hari menghirup udara di bumi.

Jam 9 pagi, aku mendatangi Kafe Ermera. Aroma kopi dan harum kue menguar hingga ke halaman.

"Dia belum datang," ucap Marsela, dan menyilakan aku memilih meja.

Kafe cukup rame, dan kulihat orang-orang asyik dengan pesanan mereka. Terdengar percakapan-percakapan bercampur antara bahasa Porto, Tetun, dan Inggris yang sesekali diselingi tawa.

Bagaimana kalau Faustino tidak datang? pikirku. Tapi, aku sudah memutuskan, dia datang ataupun tidak, hari ini aku tetap akan meninggalkan Dili. Cukup sudah kegilaan dengan rasa penasaranku.

"Elisa?"

Aku sedang menunduk, memundurkan kursi, dan bersiap duduk ketika namaku disebut. Aku mendongak. Seraut wajah asing tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan.

"Faustino," ucapnya. "Terima kasih sudah menungguku."

Lelaki itu mengenakan kemeja abu-abu yang digulung di bawah siku, topi French beret warna biru tua, dan celana hitam pudar.

Kami duduk berhadapan. Dua cangkir kopi Ermera dan dua potong paun selai kacang menguarkan aroma wangi.

"Kau sampai membatalkan pesawatmu?"

Aku tersenyum. "Saya ingin mengucapkan terima kasih."

"Bahkan hanya untuk mengucapkan terima kasih. Luar biasa. Seumur hidup, belum pernah ada yang melakukan ini untukku."

"Kata Marsela, Anda selalu memesan dua porsi, dan memberikan pada siapapun yang datang."

Faustino tertawa. Dia meraih cangkir, dan menyesapnya pelan.

"Boleh tahu alasannya?"

Lelaki dengan alis tebal bersemburat putih itu meletakkan cangkir dengan hati-hati.

"Kata Pablo Neruda; aku mencintaimu begini, sebab tak tahu cara lain untuk mencinta."

Aku berusaha memahami apa yang diucapkan Faustino.

"Mungkin yang kau lakukan terlalu mahal untuk alasan yang bagi sebagian orang sangat tragis, Elisa." Faustino menatapku. "Tetapi, sungguh aku merasa terhormat, ada seorang yang begitu penasaran denganku." Aku menangkap binar di mata lelaki itu.

"Kekasihku tinggal di Indonesia," katanya. "Kami berpisah 31 tahun yang lalu. Hal prinsip membuat kami tak bisa bersatu. Aku mengenangnya, dengan selalu memesan satu porsi untuknya. Begitulah caraku mencintainya, seperti kata Neruda, karena aku pun tak tahu, cara lain untuk mencinta."

Aku diam sejenak. Kukira, cinta yang tak masuk akal hanya ada di novel-novel romance. Tetapi, begitu berhadapan dengan pelakunya secara langsung, aku seperti berada dalam mimpi.

Faustino orang yang hangat. Berbincang dengannya mengingatkan aku saat bercakap dengan ayah. Kukira usianya memang hampir sama. Hanya saja, Faustino memotong pendek rambutnya, hingga pinggir kepalanya yang tidak tertutup topi terlihat abu-abu. Kumis dan cambangnya juga dicukur.

"Kau akan tahu betapa ajaibnya cinta, kalau kau menemukan cinta sejatimu."

Barangkali, aku memang baru saja melihat keajaiban cinta. Bahkan ketika Faustino mengatakan alasannya memilih sendiri.

"Sebagian kisah mudah terhapus oleh kisah lain. Tetapi, memaksakan membawa lubang masa lalu bersama orang baru bukan saja membuatmu semakin sakit, tetapi juga menyakiti pasanganmu. Apakah itu adil?"

Sepanjang perjalanan meninggalkan Dili, aku tak usai merenungkan kalimat-kalimat Faustino. Orang mungkin juga akan mengatakan, aku hanya omong kosong jika mereka tahu perihal alasanku memilih untuk sendiri hingga detik ini. Karena, itu juga tentang kisah lalu yang kuanggap belum usai.

Dalam fiksi, ini mungkin seperti kebetulan. Tetapi, barangkali Tuhan sedang memberiku pelajaran dari keajaiban sebuah pertemuan.

Shabrina Ws tinggal di Sidoarjo. Menulis beberapa novel, cerpen, dan puisi. Novel terbarunya berjudul Sauh

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com


(mmu/mmu)

Hide Ads