Tepat pukul 20.00 WIB, penonton sudah memenuhi basement Teater Jakarta. Udara yang terasa pengap dan tak ada penyegar ruangan menambah suasana pertunjukan 'Dancing Queen' yang digelar pada Selasa (17/10) malam.
Dimulai di salah satu dinding yang terdapat mural karya Bujangan Urban di Jakarta Biennale tahun 2013 lalu. Para pemain 'Dancing Queen' mengecat dinding menjadi cat putih dan meniban mural tersebut. Kemudian OHP menembakkan pemandangan ombak yang tengah mengalun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lainnya lagi, ada dua pemain perempuan yang menari di atas genangan air sisa hujan. Adegan lainnya seorang pesakitan yang gemar makan kayu, ada juga pria yang kerap membawa pengeras suara ke mana-mana.
![]() |
"Kami hidup di Luar Batang. Dahulu ketika Akuarium Jakarta dan Pasar Ikan menjadi pintu bagi wisatawan, banyak turis yang melihat kawasan kami," ujar salah seorang pemain.
Di bawah area parkir basement dengan penerangan minim, terkadang tim Bandar Teater Jakarta menggunakan lampu dari kendaran bermotor maupun mobil bak yang dinyalakan. Saking minimnya cahaya, beberapa kru sibuk memegang senter ke arah pemain.
Pertunjukan yang berlangsung dalam program Djakarta Teater Platform itu menampilkan teks-teks mengenai lautan dari lukisan Salvador Dali sampai teks dari novel Knurd Hamsud yang menceritakan pertarungan seseorang dengan idealismenya sendiri.
Sutradara Malhamang Zamzam mengatakan awalnya mereka mengambil tema studi tentang laut. "Bergulir tentang lautnya hilang, studinya lalu hilang. Dan akhirnya kami mengambil inspirasi juga dari lagu ABBA yang berjudul Dancing Queen," tuturnya.
![]() |
Lewat pertunjukan 'Dancing Queen', Bandar Teater Jakarta memasukkan unsur teater yang kian ruwet dan kompleks. "Yang banyak beban modernisme. Tapi kita lebih ingin banyak kehadiran melalui aktor-aktor itu, banyak batasan yang kita tolak. Kita nggak mau yang dramatik," pungkasnya.