Pria kelahiran Solo 34 tahun silam itu mengungkapkan ketika masa-masa belajar di Sekolah Menengah Pertama, sempat ada yang mengatakan 'orang Jawa, kok nari balet'.
"Saya pernah disindir gitu. Dulu sekali pas remaja, kalau nggak salah SMP. Mereka bilang, orang Indonesia kok nari balet, orang Jawa kok narinya balet. Guru saya bilang, Siko jangan mau terima orang ngomongin kayak gitu," terang Siko menceritakannya kepada detikHOT ketika ditemui di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jakarta Pusat, Kamis (24/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Suka Duka di Balik Penari Balet Pria |
Setelah itu, yang bisa menenangkan Siko adalah guru tarinya di Manira Tari, Solo. Guru bernama Wied Sendjayani itu mengatakan filosofi Jawa masih mengalir di darah Siko.
"Kalau kamu merasa bukan orang Jawa, semestinya kamu mulai mengkhawatirkan dirimu sendiri. Apa yang kamu komunikasi, sikap kamu, dan hal-hal yang baik itu sudah Jawa banget dan tidak akan mengubah kamu. Yang penting filosofi itu, everything is fine," cerita Siko.
Satu nasehat tersebut yang selalu disimpan dalam-dalam ke benak pria yang sudah berkeliling dunia karena menari sejak 2010 silam.
"Setelah belajar di Solo, saya juga belajar balet di Ballet Sumber Cipta bareng Ibu Farida Oetoyo. Saya menekuni balet dan diajarkan kenapa balet itu penting, balet itu tidak boleh dikotak-kotakan. Kalau ngomong asalnya balet dari luar nggak apa-apa," lanjutnya.
Tak hanya stereotip rasis saja yang dialami Siko, namun juga pertanyaan mengenai penari balet pria kerap dianggap lemah gemulai.
"Ada yang ngomong gitu ke orangtua saya. Nanti anakmu suka sama cowok lho. Saya tegaskan di sini tidak pernah ada riset yang menyatakan bahwa dengan menari bisa mengubah orientasi seksual seseorang," pungkas Siko.
Simak artikel berikutnya suka duka jadi penari balet pria!