Patung Lana

Cerita Pendek

Patung Lana

Dianing Widya - detikHot
Sabtu, 19 Agu 2017 11:08 WIB
Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom
Jakarta - Kabar dari Jentik tak masuk akal. Tak mungkin nenek mengutuk Lana menjadi batu. Kutukan hanya ada dalam dongeng-dongeng tua yang diceritakan turun temurun oleh para ibu. Dalam dongeng mana pun ibu selalu yang mengutuk anaknya, bukan bapak atau nenek. Dongeng yang beraroma tragis itu kemudian menempatkan anak sebagai korban. Menjadi batu atau patung.

Aku termangu di ujung pembicaraan. Jentik berkali-kali mengatakan Lana benar-benar menjadi batu di depan kamar nenek. Kemarahan nenek ada pada puncaknya, gigi nenek bergemeretuk saat mengutuk Lana.

Jentik bercerita, mula-mula Lana tak bisa bergerak. Kakinya lengket dengan lantai. Lalu ada yang merambat halus dari ujung jari-jari kaki Lana. Gerakan halus itu menjadikan kulit Lana mengeras. Semula jari-jari Lana yang membatu lalu gerakan itu merambat menutupi telapak kaki Lana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lana berteriak cemas memohon ampun pada nenek, tetapi percuma. Gerakan lembut menjadi batu itu terus merambat naik hingga ke tungkai, lutut, rok, ujung kemeja, terus merambat ke lengan. Lana putus asa. Nenek bingung, cemas. Tak menyangka ucapannya membuat Lana benar-benar menjadi batu. Nenek menyesal.

Sejenak aku mengurut dada. Penyesalan nenek tak mengubah apapun, jika Lana benar-benar membatu. Aku tetap tak percaya pada cerita Jentik.

***

Lana tipikal perempuan yang tak percaya mitos. Ia lebih suka menyikapi berbagai hal dengan logika. Adik bungsuku itu sama denganku. Tak suka dengan nenek yang banyak aturan.

Nenek sering memarahi Lana, karena tak mau meneruskan tradisi nenek seperti membeli kembang dinggo di hari Kamis. Ia pernah menghabiskan uang nenek dengan membeli es santan di kedai pinggir jalan, sepulang sekolah. Alasannya ia kehausan. Padahal sebelum berangkat sekolah, nenek mewanti-wanti agar tak lupa membeli kembang dinggo. Kembang yang di-contong atau dikemas dengan daun pisang, dibentuk menyerupai bangun ruang kerucut dan disemat dengan biting itu berisi kenanga, irisan lembut daun pandan, mawar, juga melati.

Kembang dinggo langsung dibuka begitu sampai di rumah. Isinya dimasukkan ke gelas kemudian direndam semalaman. Biasanya rendaman kembang dinggo disimpan di dalam kamar. Paginya, saat bangun tidur rendaman kembang dinggo disiram ke halaman rumah. Ritual itu harus dilakukan begitu kita terjaga dari tidur. Jangan melakukan kegiatan apa pun sebelum menyiramkan rendaman kembang dinggo ke halaman rumah. Demi keselamatan semua anggota keluarga. Lana tak mau melakukan itu. Hanya mitos, kata Lana.

Lana juga menolak menyiapkan kembang sebanyak tujuh takir untuk diletakkan di sudut-sudut rumah. Nenek selalu menaruh kembang itu setiap Jumat besar atau Jumat kliwon. Tak hanya itu, Lana dengan ringan tak membeli gedhang sepet untuk ditaruh di pematang sawah pada waktu tertentu. Akibatnya panen gagal, dan nenek mengarahkan telunjuk ke wajah Lana.

Aku menghela napas. Tak terhitung Lana dan nenek bersitegang soal ritual yang ingin nenek lestarikan, sementara Lana bersemangat mematahkannya.

***

"Ayolah, Kak pulang, sebelum orang-orang pemda memboyong patung Lana ke alun-alun."

Aku turunkan ponselku. Ya Tuhan, Jentik sudah kehilangan akal waras. Mana ada orang menjadi patung, selain dalam dongeng. Aku mendengar gelagat Jentik akan bicara lebih lama lagi. Untuk menghentikannya, aku mengatakan akan segera pulang bila ada kesempatan pulang.

"Kakak tidak sedang menghiburku bukan?"
Aku terdiam. Lirih aku berkata padanya, aku pasti pulang karena aku ingin melihat patung Lana di depan kamar, dengan hati menjerit.

Aku menutup ponsel dengan dihujani rasa bersalah. Entah berapa kali aku mengecewakan Jentik dengan janji kosong. Aku dengan ringan melupakan janji. Ujungnya aku pulang hanya setahun sekali, itu pun mengikuti tradisi. Aku pulang jika hari raya tiba. Barangkali jika ayah ibuku masih ada, atau setidaknya ibuku masih ada, ibu akan mengeluhkan aku yang jarang pulang.

"Apa kamu tak kangen dengan ibu?"

Aku menelan ludah, terasa kering di tenggorokan. Aku hanya bisa berkhayal ibu merajukku untuk pulang. Ah, seharusnya aku tak memikirkan ini.

Aku meremas ponselku. Sejak kecil aku hanya bisa melihat ibu lewat potretnya. Sejak kecil aku diasuh nenek dari ibuku dengan sangat keras. Aku yang anak SD sudah diwajibkan nenek bangun sebelum ayam jantan berkokok.

"Anak perawan tidak boleh bangun siang, rezeki dan jodohmu akan jauh."

Kenyataan membuatku jauh dengan nenek. Aku tak suka cara nenek memperlakukan kami. Hampir dalam segala hal nenek mendikte jalan hidup kami. Nenek tak pernah memberi ruang kepadaku, juga pada adik-adikku untuk menentukan pilihan sendiri. Alasan nenek, orangtua lebih tahu mana yang baik buat cucunya.

Aku jengah, bosan dengan nenek. Aku benar-benar tak bisa hidup dengan segala aturan nenek yang berlebihan. Sehabis maghrib anak perempuan itu harus di rumah. Tak perlu mengikuti kegiatan ekstra di sekolah. Anak perempuan itu tak boleh ngiras. Kalau membeli makanan dibawa pulang, makan di rumah. Anak perempuan itu harus pakai rok, jangan pakai celana, apalagi celana pendek. Rambut harus melewati bahu, tidak boleh di atas bahu. Pulang sekolah langsung ke rumah, jangan mampir ke mana pun. Tuhan, apa jadinya aku, jika selalu dibatasi?

***

Setiap kali aku menerima telepon Jentik, hidupku yang sepi tambah sepi. Jentik selalu menghadirkan nenek di setiap pembicaraan. Setiap kali aku mengatakan agar ia tak menyebut nenek ketika bicara denganku, ia mengingatkan neneklah orang yang paling berjasa buat aku dan adik-adikku.

Jentik memang cucu ideal bagi nenek. Jentik tak ubahnya cermin bagi nenek. Apa yang ingin nenek lakukan, Jentiklah yang mewujudkannya. Aku ingat betul di masa-masa kanak dan remaja kami. Nenek sangat gemar membandingkan aku dengan Jentik. Saat itulah aku merasa bukan cucu nenek. Nenek tak pernah menunjukkan kasih sayangnya padaku dan Lana. Sementara kasih sayangnya pada Jentik yang berlebih sering membuat aku sengsara karena cemburu.

***

Aku mengenali gambar alun-alun di halaman pertama koran pagi. Meski tak ada lagi beringin yang dulu berdiri tepat di tengahnya, aku mengenali itu tempat kelahiranku. Aku terpana membaca berita di bawah gambar. Berkali-kali aku meyakinkan diri aku salah baca.

Hari ini pemerintah daerah kota kelahiranku hendak mengambil patung perempuan cantik dari rumah salah satu warga. Patung perempuan cantik itu hendak dipajang di tengah alun-alun, menggantikan beringin yang tumbang beberapa tahun lalu. Patung perempuan cantik jelmaan Lana itu akan dijadikan landmark kota kelahiranku. Ini tidak benar, seruku.

Aku pernah berkomentar kelak beringin yang terbelah dua karena hujan lebat itu akan digantikan beringin baru. Ia akan kokoh berdiri di tengah alun-alun. Beringin pengganti itu tak akan pernah roboh kecuali jika pimpinan kota kelahiranku ingin menggantikan yang baru.

Beringin pengganti itu tak akan merepotkan siapa pun, karena tak perlu disiram. Tak akan ada cerita mistis di seputar beringin pengganti. Tak akan ada orang yang mengelilinginya sampai tujuh kali di tengah malam, agar dagangan atau usaha yang dijalani laris manis. Tak akan ada orang menaruh kembang tujuh rupa atau buah-buahan di dekat beringin pengganti, agar sanak saudara dan keluarga selamat.

"Tenang saja, beringin dari perunggu secepatnya didatangkan."

Aku menelan ludah. Kalimatku yang aku tulis di komentar media sosial itu, seperti hendak menghukumku. Bukan beringin dari perunggu, tapi patung perempuan cantik, juga bukan dari perunggu. Bukan dari batu yang dipahat seniman terhebat, tapi dari tubuh manusia yang telah dikutuk menjadi batu.

Aku melipat koran pagi yang mengigau. Ponselku meraung-raung seperti mobil ambulans yang membawa jenazah, dan memohon kepada semua pengguna jalan raya untuk memberikan jalan. Tertera nama Jentik. Takut menyergapku. Aku berlari menuju handuk, berlari lagi menuju ruang demi ruang dalam rumahku, berlari lagi menghindari kicauan Jentik.

***

Patung Lana benar-benar berdiri kokoh di tengah alun-alun kota kelahiranku. Patung perempuan cantik itu sangat populer di media sosial. Berbagai sisi patung Lana diunggah, hingga aku bisa melihat jelas sosok Lana yang membatu. Membuatku ingat pada masa kanak-kanak kami. Aku berusaha melupakannya dengan tidak memikirkannya, tapi sia-sia.

Lana sekarang mulai mengusik tidurku, ia hadir dalam mimpi. Ia seolah mengunjungiku, membawakanku seikat bunga mawar, persis pangeran yang mengirim bunga untuk orang yang dicinta. Di tidurku yang lain, Lana mengajakku ke tempat yang jauh. Tempat yang belum pernah aku kunjungi.

Depok, Juni 2017

Catatan:
biting: bambu yang diiris sangat kecil, panjangnya kurang lebih 3 cm, pada kedua ujungnya runcing
gedhang: pisang

Dianing Widya lahir di Batang, 6 April 1974. Novelnya, Sintren (2007) masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award. Cerpen-cerpennya terhimpun dalam buku Kematian yang Indah (Grasindo, 2007). Ia juga menulis puisi yang termuat dalam beberapa antologi bersama.


Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads