"Maq Dumbeng jatuh di Tangkok Binong. Dia jatuh sama kayu yang dibawanya. Sekarang orang-orang sedang mengangkatnya di sana. Patah lehernya mungkin."
Tiga perempuan yang duduk masing-masing di tiga anak tangga, sedang saling mencarikan kutu, sejenak menghentikan gerakan tangan mereka. Perempuan yang paling bawah menampakkan wajah tegang. Ia meringis seakan-akan dia sendiri yang jatuh. Yang di tengah kurang lebih sama. Dari mulutnya keluar pertanyaan-pertanyaan, memastikan keadaan Maq Dumbeng. Hanya perempuan yang paling belakang tidak berlebihan. Namun, setelahnya butuh waktu lama baginya menemukan seekor kutu.
"Istrinya kurus kering. Sakit-sakitan. Maq Dumbeng jatuh. Kalau dia hidup, mudah-mudahan dia hidup, pasti lama baru dia bisa kerja. Mungkin tidak bisa kerja-kerja lagi. Kayeβ¦" Ia menutup ceritanya, lalu berjalan ke rumah sebelah.
Seorang yang sedang menumbuk bebabak dengan sebongkah batu hampir saja menghancurkan ibu jarinya mendengar cerita itu. Warga lain yang sedang mengasah parang hampir saja memotong telapak tangannya. Nenek-nenek yang berjalan sangat bungkuk, hampir terperosok jatuh.
Bagai memasang perangkap, setelah bercerita di semua rumah, ia akan kembali ke rumah dari mana ia memulai.
Tiga perempuan sedang membicarakan tentang kejadian itu.
"Mungkin kakinya terpeleset."
"Licin ya di sana?"
"Ndak. Cuma banyak batu kecil-kecil. Saya takut kalau lewat di sana."
"Diamβ¦diam. Ada kutu tadi, gemuk sekali."
"Pasti itu yang buat gatal kepala saya dari tadi malam. Ketemu?"
"Di sini tadi."
"Banyak sekali kutu padahal saya selalu melangih."
"Terus banyak ndak orang di sana?"
"Mungkin ndak ada. Nanti kalau pulang Naq Gomboh kita tanya."
"Diamβ¦diam."
"Ketemu?"
"Ini."
"Besar sekali."
Ia letakkan kutu itu di telapak tangannya. Dengan kaki-kaki kecilnya, kutu itu berusaha menyelamatkan diri. Tidak lama, kutu itu menemukan dirinya tergencet di antara dua kuku ibu jari. Seluruh isinya keluar, termasuk darah yang baru saja ia isap.
Terdengar oleh mereka, suara Naq Gomboh bercerita. Suaranya tinggi. Menggebu-gebu. Tetap ia selipkan doa untuk Maq Dumbeng di setiap kata-katanya.
"Pokoknya ndak perlu kita susah-susah. Sampai cerita terasi orang Puntian Geronggong dimakan tikus dia tahu."
"Kasihan istri Maq Dumbeng. Mati sudah dia. Dari mana dia dapat makan sekarang kalau suaminya mati."
Hampir di setiap rumah, para warga membicarakan Maq Dumbeng. Sedang si pembawa cerita tidak bisa tenang bahkan sejenak pun. Ia begitu ingin mengetahui seluruh pembicaraan para warga. Di dalam dirinya, ia merasa telah melakukan sesuatu yang sangat berjasa dengan membawa cerita itu.
Cerita tentang jatuhnya Maq Dumbeng di Tangkok Binong adalah cerita paling sedih yang pernah ia ceritakan. Sebelum-sebelumnya, ia bercerita tentang keluarga yang diusir hanya gara-gara sang suami terlalu ramah. Sang suami menyapa salah seorang terkuat dan tersombong di kampung. Katanya, 'kenapa sedikit sekali dibawa?' orang itu menyangka yang dimaksud sang suami, 'kenapa sedikit sekali ilmu yang dipunya' dan orang itu datang ke rumahnya, mengajak berkelahi.
Ia juga pernah bercerita tentang suami-istri yang bertengkar, dan hampir saja sang suami membunuh istrinya hanya gara-gara kedatangan pendea. Waktu itu tidak ada biji kopi. Pohon kopi di kebun mereka hampir semuanya hanya diberikan untuk pendea-pendea yang mendatangi rumah mereka membawa segala macam barang yang tidak benar-benar diperlukan.
Di lain kesempatan ia bercerita mengenai seorang laki-laki yang hampir saja dibunuh. Hanya karena menginginkan pujian dan ingin dianggap pemberani, ia mencuri nisan makam paling keramat di Lelenggo. Salah seorang warga yang pernah menang atas pemberian nomor penunggu makam itu murka. Laki-laki pencuri nisan, jika tidak cepat berlari, pasti akan kehilangan kepala.
Tentang warga yang pernah menang ini pun pernah ia ceritakan. Betapa gara-gara togel, setiap malam ia selalu meninggalkan istrinya dan anaknya yang masih kecil. Tidak jarang ia memukul istrinya hanya karena istrinya mencoba mengusik kebiasaannya tidur di makam.
Baru-baru ini ia menyampaikan cerita tentang seorang nenek-nenek yang sakit bertahun-tahun. Kulit punggungnya sampai membusuk, dan jika diangkat kulit itu akan menempel dengan tikar, mengelupas, meninggalkan daging punggung berwarna merah kecoklatan. Menantunya, yang merawat nenek itu, diam-diam menginginkan mertuanya segera mati. Ia sama sekali tidak tahu mertuanya selaq, dan jika mertuanya mati ilmunya akan diturunkan ke orang yang paling dekat dengannya. Tidak lain dan tidak bukan orang itu adalah suaminya sendiri.
Masih banyak lagi cerita sedih yang ia ceritakan. Semuanya selalu tentang nasib buruk orang-orang.
Pernah beberapa kali ia bercerita tentang nasib baik. Di awal-awal ia tinggal di kampung ini. Namun, respons dari para warga sangat berbeda dengan apa yang ia inginkan. Ia bukannya mendapatkan kepuasan seperti ketika menceritakan kesedihan-kesedihan. Malah ceritanya tidak didengarkan, dan ia dipaksa berhenti sebelum cerita selesai.
Waktu itu ia bercerita tentang seorang bernama Mungko. Hidupnya sangat beruntung. Tenaganya kalah-kalah kuda. Segala macam pekerjaan bisa ia selesaikan sendiri dengan cepat. Otomatis uang yang ia dapatkan banyak. Ia bisa membuat rumah, membeli sapi, membeli kebun, dan segala macam. Pendek kata, ia memiliki hidup yang bergelimang kemewahan.
Hanya sampai sana ia bisa bercerita. Para warga yang sedang bekerja langsung melanjutkan pekerjaan mereka, seakan-akan mereka tidak pernah mendengar apa-apa.
Apa yang sekarang membuatnya puas, wajah-wajah tegang, ketakutan, dan doa-doa supaya terhindar dari peristiwa semacam itu, tidak pernah ia dengar ketika ia bercerita tentang nasib baik. Beberapa bahkan menyumpah-nyumpah padanya.
"Kalau tidak ada kerjaan lebih baik tidur di rumah."
"Walaupun dia kaya kalau dia ndak pernah kasih kita uang ndak ada artinya."
"Kamu iri ya?" Seseorang pernah berkata begitu padanya.
Ditanya seperti itu, ia pulang. Dan kembali lagi ketika ia mendapatkan cerita lain tentang kisah hidup Mungko.
Suatu hari, ia mendapatkan kabar bahwa Mungko ternyata dimusuhi oleh para warga. Tenaganya yang begitu kuat membuat ia melahap seluruh pekerjaan tanpa menyisakan untuk orang lain. Selain itu ia juga sangat suka mengganggu istri orang. Bahkan pernah kepergok sedang berusaha memerkosa istri orang yang sedang duduk buang hajat di atas sebuah batu tengah kebun.
Ketika ia menceritakan lanjutan cerita itu, para warga mendadak tertarik. Berbagai pertanyaan terlontar, dan tidak sedikit yang ikut geram sampai menyumpah-nyumpah. Sejak itu, ia memetik pelajaran: para warga tidak suka cerita tentang kebahagiaan.
Sekarang, ia merasa senang. Cerita sedih yang diinginkan para warga sangat mudah ia jumpai. Ada di mana-mana. Setiap hari selalu saja ada kejadian-kejadian yang bisa ia ceritakan.
Ketika ia kembali untuk kedua kalinya di tempat para warga yang sedang saling mencarikan kutu, mereka tengah menceritakan tentang cerita yang baru saja ia sampaikan.
"Mungkin kita bisa membantu istrinya nanti kalau ternyata Maq Dumbeng meninggal." Itulah kata-kata yang ia dengar. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan ketika ia tidak ada, tapi ia bisa menarik kesimpulan dari apa yang baru saja ia dengar. Lalu ia berjalan ke rumah warga yang sedang menumbuk bebabak.
Warga itu sedang bersiap-siap pergi menyadap tuak.
"Sekarang saya harus memanjat dengan hati-hati. Jangan sampai yang menimpa Maq Dumbeng juga menimpa saya," katanya sambil menunjukkan tali tambang yang telah lama tidak ia pakai.
Dadanya terasa hangat mendengar kata-kata warga itu. Ia merasa tidak sia-sia telah bercerita. Sedang warga yang sedang mengasah parang, menyimpan parangnya di tempat teraman. Katanya, ndak boleh sembarangan simpan parang, bisa melukai siapapun.
Lalu ia menuju rumah sebelah. Tampak olehnya nenek yang tadi hampir jatuh sedang duduk di teras. Melihat Naq Gombong, ia berkata, "Saya tidak berani jalan-jalan sekarang. Takut jatuh."
Catatan:
kaye: ungkapan rasa kasihan
bebabak: kulit pohon yang dipakai untuk membuat tuak
melangih: keramas dengan sisa parutan kelapa
pendea: orang yang datang setiap kali musim kopi dengan membawa berbagai macam barang dengan tujuan menukarnya dengan kopi
selaq: orang yang menguasai ilmu hitam
Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Cerpen-cerpennya disiarkan di berbagai media cetak dan elektronik. Aktif di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com (mmu/mmu)











































