Lakon Hakim Sarmin ini dipentaskan dengan latar belakang suasana yang ganjil. Dimana semua hakim masuk rumah sakit jiwa yang disebut pusat rehabilitasi. Hakim yang menolak di rehabilitasi dikabarkan mati terbunuh dan mayatnya dibuang ke lubang buaya.
"Lakon yang membongkar kegilaan masyarakat di tengah carut marut hukum ini menjadi lakon yang kocak dan penuh satir saat dipentaskan. Guyonan dan adegan demi adegan membuat lakon Hakim Sarmin tidak sekedar penuh tawa, tetapi juga ironi yang membuat kita harus memikirkan kembali kewarasan kita," kata sang penulis, Agus Noor di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (29/3/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Zaman dimana kegilaan menjadi trend, jika tidak gila dianggap jadul, kurang gaul," kata Butet.
Dalam lakon ini terjadi ketegangan di antara para tokoh, karena ambisi kekuasan, kepentingan politik, siasat licik untuk saling menjatuhkan. Sementara proyek rehabilitasi untuk para hakim dianggap sebagai solusi untuk mengatasi wabah kegilaan, tetapi pada sisi lain dianggap sebagai pemborosan anggaran dan dicurigai sebagai proyek yang membahayakan kekuasaan. Terlebih ketika isu pemberontakan hakim merebak dan melibatkan sejumlah tokoh.
Lakon Hakim Sarmin menceritakan tokoh-tokoh yakni Dokter Menawi Diparani sebagai pimpinan pusat rehabilitasi diperankan oleh Susilo Nugroho, komandan keamanan Pak Kunjaran Manuke (Fery Ludiyanto), politisi muda yang ambisius Bung Kusane Mareki (M Arif 'Broto' Wijayanto), pengacara yang menjadi penasehat pimpinan kota Sudilah Prangin-angin (Citra Prariwi), dan pimpinan kota Mankane Laliyan (G.Jaduk Feriyanto).
Naskah Hakim Sarmin ini ditulis oleh Agus Noor dan di produseri oleh Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto sebagai Sutradara.
(nu2/nu2)