Asal Usul Sirompak dari Ilmu Pelet Hingga Tengkorak Kepala Manusia

Asal Usul Sirompak dari Ilmu Pelet Hingga Tengkorak Kepala Manusia

Nugraha - detikHot
Jumat, 03 Feb 2017 11:37 WIB
Anusirwan tengah berbicara di jumpa pers
Jakarta - Zaman dulu kala, nyanyian yang didendangkan oleh orang-orang tak hanya sekadar untuk dinikmati oleh telinga saja. Ada maksud lebih dalam dari penciptaannya.

Di Jawa punya lagu 'Lir Ilir' hingga 'Lingsir Wengi' yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Dulu lagu-lagu tersebut diciptakan sebagai salah satu sarana berdakwah melalui kesenian.

Sementara di kawasan Sumatera Barat muncul sebuah kebudayaan tradisional yang masih bertahan hingga saat ini. Warga di sana biasa menyebutnya dengan Sirompak yang berarti rompak atau pemaksaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dulu Sirompak berisi syair-syair yang berbau magis. Mantra yang dinyanyikan itu dianggap ampuh untuk menarik lawan jenis seperti ilmu pelet. Sirompak juga punya paketan berupa Gasiang. Nah, paketan ini juga yang membuat seni tradisional tersebut semakin menyeramkan.

Anusirwan menceritakan kisah horor lainnya ketika seseorang melakukan tradisi tersebut. Menurutnya, sempat ada orang yang terkena mantra sampai hilang kesadarannya.

Baca Juga: Pembaca Ancam akan Bakar Buku-buku Harry Potter

"Jadi dulu itu mereka membawa tengkorak asli, diambil dari kuburan orang yang tujuh hari meninggal. Dan, itu dipilih bukan dari orang sembarangan," kata Anusirwan yang merupakan Komite Musik di Dewan Kesenian Jakarta saat berbincang dengan detikHOT.

Anusirwan mengatakan, ritual tersebut kini sudah tak dipakai lagi. Menurutnya, sekarang banyak orang Minang yang sudah beragama Islam dan ritual tersebut tidak cocok dengan kemanusiaan.

"Sekarang sudah berubah total, tapi masih ada yang melakukan itu. Tapi tidak berupa seperti aslinya, kalau di kampung masih dipakai tapi ketika Gasiang, itu dibuat dari batok kelapa dan lagu-lagunya sedikit diganti," tuturnya.

Pria yang juga membuat Komunitas Altajaru itu memang konsen terhadap budaya khususnya musik tradisional. Dengan komunitasnya, ia berhasil menggaet pemuda-pemudi untuk tidak melupakan budaya leluhurnya.

Di tengah gempuran budaya pop, mereka seperti tak lelah untuk terus berkarya. Menurut Anusirwan, jika diibaratkan sebuah labirin, mereka menyebut kesenian tradisional itu berada di labirin yang berbeda.

"Banyak generasi muda tak dapat informasi yang benar, bagaimana mereka mencintai musik tradisional mereka sendiri. Dengan itu, diambil falsafah Minang tersebut, Altajaru itu Alam Terkembang Jadi Guru'. Alam yang dimaksud itu adalah alam pikiran, bagaimana anak muda bisa berkreasi dari tradisi manapun tapi harus mengetahui dari mana dulu dia berasal," tukasnya.

(nu2/tia)

Hide Ads