Patungnya hanya setinggi 1,5 meter. Tatapan gadisnya tajam, diam, dan seakan memprotes sesuatu hal. Patung perunggu itu dianggap sebagai simbol dari 200.000 perempuan Korea yang dipaksa bekerja oleh tentara Jepang selama Perang Dunia kedua. Kini, patung tersebut menjadi pembicaraan.
Pekan lalu, sebuah kelompok masyarakat Jepang mengajukan keluhan diskriminasi rasial pada Komisi Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka menginginkan upaya menghapus patung tersebut dari gereja Ashfield Uniting, Sydney. Namun pendeta Bill Drews tidak ingin memindahkannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya akan tetap menaruhnya di bagian luar gereja. Ini hanya mengingatkan tentang cara wanita diperlakukan dalam perang, bukan sikap kami untuk anti-Jepang," katanya dilansir dari BBC, Rabu (21/12/2016).
Peringatan terhadap sejarah yang pernah terjadi di masa lampau itu ditempatkan di 40 titik di Korea Selata, tujuh patung di Amerika Serikat, satu di Kanada, dan satu lagi di Australia. Gara-gara kasus tersebut, pemerintah Jepang berulang kali meminta maaf dan menawarkan kompensasi untuk sejarah yang menyakitkan tersebut.
Kelompok yang kontra terhadap patung, Jaringan Masyarakat Australia-Jepang (AJCN) tidak membantah fakta sejarah yang pernah terjadi. Namun, mereka berpendapat patung tersebut akan menambah ketegangan rasial.
"Kami mengambil tindakan tersebut karena dirancang sebagai simbol demonstrasi anti-Jepang. Kami adalah kelompok lokal yang benar-benar independen dan khawatir tentang kesejahteraan anak-anak kami di Australia," kata Presiden AJCN, Tetsuhide Yamaoka.
Sementara itu, pihak kelompok masyarakat Korea membantah memiliki agenda anti-Jepang. "Yang kami inginkan adalah membiarkan dunia tahu kebenaran dan kekejaman ini tidak boleh diulang," pungkas Vivian Park, Presiden Komite Kelompok Masyarakat Korea.
(tia/mmu)











































