Pentas 'Black Sun' Sardono W Kusumo: Tubuh-tubuh dan Wajan-wajan

Retrospektif Sardono di Singapura

Pentas 'Black Sun' Sardono W Kusumo: Tubuh-tubuh dan Wajan-wajan

Is Mujiarso - detikHot
Senin, 29 Agu 2016 14:30 WIB
Foto: Is Mujiarso
Jakarta - Sebelas ekor kura-kura raksasa memasuki arena pertunjukan. Tak ada panggung yang lebih tinggi dari penonton. Panggung itu tak lain lantai galeri yang ditandai dengan garis putih membentuk persegi, mirip lapangan olahraga. Tak ada dekorasi. Satu-satunya yang bisa dianggap bagian dari tata panggung adalah bentangan kain di sisi atas bergambar matahari yang sedang gerhana. Penonton duduk mengelilingi "panggung" itu dari empat sisi. Kura-kura raksasa?

Sebenarnya, yang memasuki panggung dengan 'langkah' perlahan-lahan itu adalah para penari yang merayap sedemikian rupa, dengan punggung tertutup oleh wajan besar, sehingga tampak bagaikan kura-kura yang berbaris. Apapun persepsi yang muncul di kepala penonton atas visualisasi itu tentu sah saja. Itulah yang terjadi pada pementasan karya terbaru Sardono W Kusumo berjudul 'Black Sun'. Dipentaskan di TheaterWorks di Jalan Mohamed Sultan, program tersebut merupakan bagian dari Retrospeksi Sardono persembahan Singapore International of Arts (SIFA) 2016.

SIFA 2016 berlangsung pada 13 hingga 28 Agustus, sedangkan pementasan 'Black Sun' digelar pada 26 dan 27 Agustus. Pementasan ini mendapat dukungan dari Mandiri Art, sebuah unit dari Bank Mandiri yang bekerja untuk memajukan seni di Tanah Air. Dukungan atas penampilan Sardono di ajang SIFA sekaligus untuk mendorong karya seni Indonesia lebih dikenal di ranah internasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usai pementasan, sejumlah penonton yang sebelumnya terpukau oleh pertunjukan sepanjang dua jam itu mendekat ke arah wajan-wajan yang masih tergeletak di lantai. Mereka menyentuh, dan mencoba-coba apa yang telah dilakukan oleh 11 penari dalam pertunjukan tadi. Mereka penasaran, dan bertanya-tanya apa makna ini semua?

Kenapa wajan? Kenapa para penari itu boleh dibilang sama sekali tidak "menari"? Mereka hanya bermain-main di atas wajan-wajan itu, bergulingan, berputar, mencoba berdiri di dengan kedua kaki berpijak di dua sisi bibir wajan, seolah-olah sedang bermain skateboard. Ada pula yang tubuhnya seperti terjebak di kubangan wajan itu, dan berusaha keras untuk membebaskan diri. Pada satu titik, ketika semua wajan di punggung para penari itu sudah terbalik, dan mereka berada di atasnya, mulai tampak sesuatu yang berbeda. Wajan-wajan itu terayun-ayun seperti perahu-perahu di atas perairan. Mereka seperti tidak bahagia, dan menanti kepastian….

Dalam jumpa pers di Jakarta kira-kira tiga pekan sebelum pementasa, Sardono mengungkapkan bahwa karyanya kali ini secara umum menyoroti isu kemanusiaan yang marak belakangan ini. Terutama, penari asal Solo yang pernah menjabat sebagai rektor Institut Kesenian Jakarta itu merujuk pada isu global yang ia sebut sebagai "gerhana kehidupan" yang melanda jutaan pengungsi dan imigran di Eropa.

"Saya tidak berangkat dari 'mau bikin apa?' tapi melihat ada gejala apa?" ujarnya saat ditemui usai pementasan. "Seni menangkap momen-momen di sekitar kita, untuk dijadikan sesuatu yang menginspirasi sekaligus membebaskan dan memperluas daya imajinasi," sambung seniman yang telah melahirkan karya-karya tari seperti 'Passage Through the Gong', 'Nobody's Body' dan 'Opera Diponegoro' itu.

Wajan ia gunakan sebagai elemen untuk menguji tubuh penari. Sardono sendiri memilih para penampil karyanya kali ini bukan dari kalangan seniman yang sudah "jadi" atau terkenal. Kecuali Tony Broer, sebagian penari lainnya ia ambil dari Sorong, Papua. "Mereka bahkan belum jadi penari handal. Mereka saya bebaskan untuk mengsplorasi gerak. Biasanya orang menari di tempat datar, sekarang saya bikin, bagaimana kalau pijakannya tidak rata?" tuturnya.

Retrospektif Sardono di SIFA 2016 menjadi ungkapan artistik yang utuh dari perjalanan karier sang seniman selama lebih dari 50 tahun. Karya terbaru Sardono sebelumnya adalah sebuah pementasan unik di bekas Pabrik Gula Colomadu, Jawa Tengah pada 2015 berjudul 'Fabriek Fikr'.

(mmu/mmu)

Hide Ads