βSaya bukan Pangeran Hamlet!β teriak lelaki gagap itu di dalam bilik wawancara pembuatan visa di kantor Konsulat Amerika Serikat di Jakarta.
Si bule yang mewawancarainya, duduk dalam gelap, dengan santai dan malas-malasan menyahut, βYa, tentu saja bukanβ¦lalu Anda siapa?β
Si gagap tetap menjawab sama: βSaya bukan Pangeran Hamlet!β
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pementasan lakon teater berjudul βVisaβ di Salihara, Jakarta Selatan, Amerika ditampilkan sebagai sebuah βcitraβ yang karikatural: slebor, penuh kuasa, dan arogan. Beberapa kali, βAmerikaβ juga dihadirkan lewat suara pengumuman yang tak pernah tuntas, sehingga membuat para pemohon visa di ruang tunggu itu geram.
Jadi inilah panggung itu: sebuah ruang tunggu, tempat orang-orang dari beragam profesi dan latar balakang, dengan aneka penampilan, saling berinteraksi. Ini juga digambarkan tak kalah karikatural. Pria gagap ala panggung lawak sudah disebut di atas. Masih ada sepasang cowok kembar dengan kemeja dan rompi, sebut saja Fauzi dan Fauzan, yang tak henti-henti menelepon pacarnya.
Namun, salah satu yang paling mencuri perhatian sejak awal adalah seorang pria cina perlente, anggap saja begitu, yang juga sibuk dengan telepon genggamnya. Belakangan ia mengumumkan namanya: Iwan Candra. Ia seorang pebisnis, dan mengajukan permintaan visa untuk bepergian ke Amerika untuk kepentingan kariernya. Apakah ia seorang ambisius?
Sapa, prasangka dan tanya bergulir di ruang tunggu itu, di tengah kecemasan mereka menunggu, apakah visa yang mereka inginkan akan didapat. Dari obrolan demi obrolan yang tercipta, antara lain terungkap, seorang ibu yang berpenampilan rapi (belakangan kita tahu namanya Dumilah) itu hendak pergi ke Honolulu, menengok cucunya. Si pria gagap hendak ke Detroit. Lalu, seorang perempuan muda, diperankan Sha Ine Febriyanti, menyahut dan merebut pusat perhatian atas kisahnya tentang βkota yang diserahkan pada hantu-hantuβ itu.
Monolog-monolog kecil membangun alur lakon realis yang minimalis ini. Dua lapis panggung di bagian tengah, dipisahkan oleh kain transparan. Panggung depan terdiri atas bangku-bangku panjang, panggung belakang untuk menciptakan visualisasi keluar-masuk para aktor dan efek antrian di sebuah ruang tunggu. Di sisi kanan juga terdapat bangku-bangku, dan di sisi kiri bilik wawancara.
Saat penonton memasuki gedung pementasan, panggung sudah terbuka, dan 3 pemain sudah βmenungguβ di bagian tengah. Untuk beberapa saat, penonton menyaksikan dua pria yang sibuk dengan telepon genggamnya, dan seorang perempuan yang duduk diam tertunduk. Sampai akhirnya satu barisan orang muncul dari panggung belakang, dan terjadilah kegaduhan. Antrian dimulai. Desak-desakan, dan kegelisahan. Kapan loket dibuka? Bagaimana nanti prosesnya? Apakah semua akan lancar dan baik-baik saja? Mereka nyaris putus asa. Lalu, sepasang suami-istri sepuh muncul, dan memberi suasana baru. Mereka berbincang tentang danau dan puisi, dan si suami yang bercitra ningrat itu mengeluhkan formulir yang harus diisi. Ia ngedumel, betapa membosankannya sebuah formulir dibandingkan dengan puisi.
Sejak kita tahu naskah lakon ini ditulis oleh Goenawan Mohamad, maka kita pun maklum lontaran-lontaran kalimat bernada gumam ala βcatatan pinggirβ (caping) seperti itu pasti akan muncul. Pada beberapa bagian, lakon ini bahkan terasa seperti βcaping dramatic readingβ. Berbagai isu, wacana, tema, informasi, trivia, serba-serbi hingga filosofi berjejalan muncul di panggung. Dari βNew York itu bukan Amerika βAmerika adalah kumpulan kota-kota kecilβ hingga sejarah Grand Canyon.
Amerika memang bukan sekedar simbol bagi βnegeri jauhβ yang menjadi tujuan orang-orang untuk bepergian dengan berbagai motif dan kepentingan. Dalam pentas ini, Amerika menjadi faktor utama, semacam elemen cerita yang digali dan disuguhkan kembali. Simak bagaimana Ine Febriyanti berkisah tentang Detroit, dengan nada yang mencekam. Tapi, mengapa Amerika? Mengapa Detroit?
Mungkin bukan itu soalnya. Memelesetkan ungkapan terkenal Hamlet βto be or not to beβ, pada suatu titik perenungan Ine Febrianti berseru lirih, βPergi atau tidak pergi, itulah persoalannya.β
βVisaβ bukanlah lakon baru. Naskah ini pernah dipentaskan pada 2011 di tempat yang sama, dalam Forum Teater Realis, oleh sutradara Iswadi Pratama bersama Teater Satu Lampung. Pentas ulang kali ini kembali dikerjakan oleh sutradara dan grup teater yang sama, ditambah para pemain dari Kelas Akting Salihara. Iswadi menggarap βVisaβ dengan lurus, βluguβ, sederhana, tanpa aksi yang neko-neko dan berlebihan. Bahkan, adegan para aktor menyuarakan semacam kesimpulan secara bersama-sama, seperti βkoorβ, terasa kuno (atau βvintageβ?). Namun, secara keseluruhan, pentas lakon βVisaβ jelas memberikan hiburan yang cukup menggelitik. Aroma lawak cukup mendominasi. Ada nada kemarahan juga, mengapa proses meminta visa terasa berbelit-belit, atau bahkan βmengancamβ.
Kita harus menunggu munculnya perenungan tentang tanah air. Apa itu tanah air? Pernyataannya bukan di mana.
Dipentaskan di era gemilang kaum traveler, zaman ketika orang begitu mudah bepergian, dengan kemudahan fasilitas pemesanan hotel dan tiket pesawat secara online dengan berbagai promonya yang menggoda, βVisaβ terasa semakin relevan. Walaupun lakon ini belum menyentuh fenomena βboomingβ para petualang kelas menengah tersebut, namun setidaknya pertanyaan plesetan βpergi atau tidak pergiβ ala Hamlet tadi bisa menjadi bahan renungan bersama. Untuk itu, Anda harus menyaksikannya sendiri pentas lakon βVisaβ di Salihara, mulai Jumat malam nanti hingga Sabtu besok, pukul 20.00 WIB.
(mmu/mmu)











































