Borondo mengatakan tidak ingin orang-orang berpikiran hal yang sama dengan dirinya terkait mural yang digarapnya bulan lalu. Dia tidak ingin muralnya menjadi hiasan dan menampilkan warna 'manis' belaka.
"Jika saya memaksakan interpretasi mural yang saya inginkan, maka hanya ada satu penafsiran dan orang lain salah. Tapi kadang-kadang interpretasi dari masyarakat lebih menarik dan berbeda dari orang lain, dan saya tidak ingin menutup wacana ini," katanya, dilansir dari Huffington Post, Senin (25/7/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baginya, sebuah karya seni yang baik memang sudah seharusnya mendapatkan reaksi langsung dari publik. Serta mengajak masyarakat untuk berpikir kritis serta tidak menelan mentah-mentah makna sebuah karya seni.
"Dinding dibagi dua sisi dengan celah jendela di tengah, saya menggunakan celah ini untuk mewakili dinding yang menciptakan dimensi ganda. Di sisi kiri ada sosok orang yang melihat lewat lubang, dan sisi kanan menggambarkan lukisan Renaissance yang ada di hutan salju," jelasnya.
'Dinding' digambarkan Borondo sebagai sebuah perbatasan dan hal yang menciptakan jarak antara ruang kosong dan lubang kecil untuk melihat kenyataan. Mural yang diciptakan Borondo merupakan simbol dari penderitaan pengungsi Suriah dilukis di dua sisi bangunan besar. Satu sisi menggambarkan seorang gadis muda yang mengenakan gaun tidur dan bernoda merah. Di dindingnya pun digambar dengan banyak warna merah seakan-akan 'berdarah'.
Sedangkan di sisi lainnya terdapat seorang pria ditusuk oleh beberapa anak panah yang berdiri di hutan tertutup salju. Mural Borondo pun di-petisi untuk segera dihapus, namun sampai sekarang mural tersebut tetap ada dan bertengger di dinding bangunan.
(tia/tia)











































