Menurut penerbit Jalada Africa, cerita pendeknya masuk dalam sejarah penulisan di Afrika. Dilansir dari Guardian, Rabu (30/3/2016), awalnya Ngungi menulis dalam bahasa Kenya 'Ituĩka Rĩa Mũrũngarũ: Kana Kĩrĩa Gĩtũmaga Andũ Mathiĩ Marũngiĩ' dan diterjemahkan oleh penerbitnya ke dalam bahasa Inggris.
Mengisahkan tentang dongeng bagaimana manusia menggunakan kaki dan tangannya untuk berjalan. Sama seperti makhluk empat kaki lainnya. Tapi, fungsi tersebut membuat bagian tubuh lainnya yang ada di tubuh menjadi iri dan mulai merencanakan perlawanan. Ituĩka Rĩa Mũrũngarũ: Kana Kĩrĩa Gĩtũmaga Andũ Mathiĩ Marũngiĩ
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak: Penyelenggara Nobel Kecam Fatwa Kematian Penulis Salman Rushdie
Terjemahan cerita Ngungi tersedia dalam bahasa Amharic, Dholuo, Kamba, Lwisukha (Luhya), Kipsigis, Kinyarwanda, Prancis, Arab, Luganda, Kiswahili, Afrika, Hausa, Meru, Lingala, IsiZulu, Igbo, Ibibio, isiNdebele, XiTsonga, Nandi (Kalenjin), Rukiga, Bamanankan, Lugbara, Lubukusu, Kimaragoli, Giriama, Sheng, Ewe, dan Naija Langwej.
Ngungi menjelaskan, proyeknya akan membuat sastra Afrika dapat bersaing dengan sastra dunia lainnya. "Saat kami kehilangan bahasa, kita sama saja kehilangan tubuh kita, emas, berlian, tembaga, kopi, teh dan kami tidak bisa melakukan apapun dengan bahasa kita," ujar novelis tersebut.
Penerbit Jalada sekarang berencana akan menerbitkan edisi terjemahan secara berkala dan akan mengalihbahasakan setiap cerita ke dalam 2000 bahasa Afrika lainnya. "Ada jutaan pembicara dalam bahasa Afrika, ada banyak penulis dalam bahasa Afrika, lalu mengapa tidak mempromosikan bahasa benua ini sendiri?" tandasnya.
Sejak dinominasikan di Nobel, nama Ngungi sudah menjadi favorit sejak 2010 silam, tapi saat itu anugerah Nobel dihadiahi kepada Tomas Transtromer. Sedangkan favorit lainnya jatuh kepada novelis asal Jepang Haruki Murakami.
Ngungi menulis sebuah novel di atas tisu toilet saat ia mendekam di penjara yang berjudul 'Caitani Mutharabaini (Devil on the Cross), diikuti oleh novel lainnya yang berjudul 'Ngaahika Ndeenda (I Will Marry When I Want) yang mengkritisi ketidakadilan yang dialami masyarakat Kenya.
(tia/mmu)











































