"Vonis terhadap seorang penulis untuk sebuah karya fiksi tidak boleh dianggap enteng dan harus dilihat konteksnya dulu. Polisi pun jangan mengintimidasi," tulis situs berita Mesir Mada Masr, Qoll, Za2ed18, dan Zahma dalam sebuah pernyataan bersama yang di-posting akhir pekan lalu.
Salah seorang aktivis sekaligus penulis Mesir Wael Ghonim mengatakan bahwa akibat putusan tersebut, pihaknya mengadakan silang dan polling pendapat. "Peran negara dalam masyarakat modern adalah melindungi dan memberikan hak-hak kepada warga negaranya," tandasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus ini bermula ketika seorang warga negara yang mengeluh kalau novel Naji menyebabkan dia susah tidur, jantung berdebar-debar dan menimbulkan nafsu. Kemudian, Naji ditangkap dan diperiksa lebih lanjut. Usai pemeriksaan, dia dibebaskan.
Tapi jaksa mengajukan banding hingga vonis hukuman pun jatuh selama dua tahun. Seorang kolumnis terkemuka di Mesir menyatakan kemarahannya atas kasus tersebut pada Minggu lalu. Serta menuduh Presiden Abdul Fattah al-Sisi menjalankan negara tidak berbeda dari aturan Islam, dari pria yang digulingkan sebelumnya, Mohammed Morsi.
Kasus ini bukan yang pertama kalinya terjadi di Mesir. Kelompok hak asasi manusia dan ahli hukum internasional secara rutin mengecam pemerintahan Presiden Abdel Fattah el-Sisi atas pelanggaran dalam sistem hukum nasional. Akhir 2015 lalu, pemerintah menutup dua lembaga kebudayaan independen, Merit Publishing House dan Galeri Townhouse bersama Rawabet Thatre.
Awal tahun ini juga, penyair, wartawan, dan mantan anggota Parlemen Fatima Naoot divonis hukum tiga tahun penjara atas tuduhan menghina agama Islam setelah mengkritik hewan kurban di lama Facebook pribadinya. "Nasib Naji tak jauh beda dengan kasus lainnya yang dihukum karena terbatasnya kebebasan berekspresi," pungkasnya.
(tia/mmu)











































