Museum Temporer 'Rekoleksi Memori': Rumah Kaca bagi Sejarah Luka

Museum Temporer 'Rekoleksi Memori': Rumah Kaca bagi Sejarah Luka

Is Mujiarso - detikHot
Selasa, 08 Des 2015 12:20 WIB
Jakarta - Seorang pria duduk di kursi menghadap ke layar televisi. Acara yang tengah disiarkan adalah film 'G30S/PKI' yang pada “zaman TVRI” dulu selalu diputar setiap malam 1 Oktober, dan publik ‘dipaksa’ untuk menontonnya. Instalasi kursi dan televisi itu menggambarkan sebuah ruang keluarga, dan merupakan salah satu karya yang mengisis Museum Temporer ‘Rekoleksi Memori’ yang dibuka mulai Senin (7/12) malam di Plaza Teater Jakarta, TIM, Cikini.

Karya tersebut merupakan sebuah instalasi video berjudul ‘His(story) (a) history’ yang digagas oleh Kiki Febriyanti. Sebagai bagian dari generasi muda yang tumbuh di era pasca-Reformasi, Kiki menyadari bawa banyak dari generasinya yang tidak mengenal, lupa atau bahkan takut pada sejarah. Menurut Kiki, sejarah yang dipelajari di sekolah dulu adalah sejarah “nina bobo”.

“Sejarah yang membuai, atau menidurkan. Dulu kita pernah terpaksa untuk percaya pada satu sejarah dan mempunyai satu tokoh superhero yang sama. Salah satunya kita pernah harus menonton film fiksi G30S/PKI setiap 30 September, dan meyakini sebagai kebenaran sejarah,” tuturnya saat ditemui di lokasi acara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kiki dan karya video instalasinya menjadi salah satu tafsir yang memberikan narasi lain pada sejarah luka bangsa ini, terkait tragedi G30S dan trauma atas pembantaian pasca-1965. Menarik membaca bagaimana seniman dari kalangan muda ini melihat kembali sejarah yang hingga kini masih gelap tersebut. Bagi Yovista Ahtajida misalnya, narasi sejarah seputar peristiwa 65 tak ubahnya cerita horor, sehingga Museum Lubang Buaya pun baginya jadi semacam rumah hantu.

Dalam karya video instalasi berjudul ‘Wahana Loebang Maoet’, Yovista menampilkan semacam parodi atas narasi sejarah bentukan Orde Baru. Karya ini mengkritisi kebenaran yang ada di dalam Museum Lubang Buaya yang terkenal itu dengan cara membongkar citra museum tersebut, dan menghadirkannya kembali dalam citra “baru”. Hasilnya, pengunjung akan melihat, seolah-olah memasuki sebuah wahana rumah hantu yang biasa dijumpai di pasar malam atau tempat-tempat hiburan rakyat.

Museum Temporer ‘Rekoleksi Memori’ digagas oleh Yulia Evina Bhara, seorang aktivis, produser film dan Direktur Partisipasi Indonesia. Mengapa “rekoleksi memori”, dan mengapa memilih peristiwa 1965?

“Ini adalah proses untuk mengetahui, menggali masa lau dengan cara memanggil kembali ingatan-ingatan dari pelaku sejarah yang tak dicatat dalam buku sejarah. Tragedi kemanusiaan 1965 hanyalah mulanya, setelah ini masih ada kasus pelanggaran HAM berat lainnya,” ujarnya di acara pembukaan.

Dengan membuat “museum” sementara, Yulia bermaksud untuk “merumahkacakan” sejarah dengan menghadirkan kembali masa lalu, mengumpulkan memori, mengenal jatidiri untuk menghapus jejak Orde Baru yang sudah mengakar dalam menanamkan kekerasan. Untuk proyek dengan sasaran generasi muda ini, Yulia menggandeng arsitek Stephanie Larassati, Gosha Muhammad dan WEN Urban Office untuk mewujudkan gagasan tersebut.

Mereka kemudian merancang sebuah paviliun dengan struktur rangka yang tembus pandang. “Yang di luar bisa melihat ke dalam, yang di dalam bisa melihat yang di luar, tapi semua serba buram, samar-samar, seperti memori kita yang tercerai-berai sehingga kebenaran pun menjadi sulit untuk dinyatakan,” tutur Yulia membeberkan filosofi bangunan museum yang digagasnya.

Untuk merasakan dan mengalaminya sendiri, silakan kunjungi Museum Temporer ‘Rekoleksi Memori’ yang dibuka hingga 12 Desember.

(mmu/mmu)

Hide Ads