Karya tersebut merupakan sebuah instalasi video berjudul ‘His(story) (a) history’ yang digagas oleh Kiki Febriyanti. Sebagai bagian dari generasi muda yang tumbuh di era pasca-Reformasi, Kiki menyadari bawa banyak dari generasinya yang tidak mengenal, lupa atau bahkan takut pada sejarah. Menurut Kiki, sejarah yang dipelajari di sekolah dulu adalah sejarah “nina bobo”.
“Sejarah yang membuai, atau menidurkan. Dulu kita pernah terpaksa untuk percaya pada satu sejarah dan mempunyai satu tokoh superhero yang sama. Salah satunya kita pernah harus menonton film fiksi G30S/PKI setiap 30 September, dan meyakini sebagai kebenaran sejarah,” tuturnya saat ditemui di lokasi acara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam karya video instalasi berjudul ‘Wahana Loebang Maoet’, Yovista menampilkan semacam parodi atas narasi sejarah bentukan Orde Baru. Karya ini mengkritisi kebenaran yang ada di dalam Museum Lubang Buaya yang terkenal itu dengan cara membongkar citra museum tersebut, dan menghadirkannya kembali dalam citra “baru”. Hasilnya, pengunjung akan melihat, seolah-olah memasuki sebuah wahana rumah hantu yang biasa dijumpai di pasar malam atau tempat-tempat hiburan rakyat.
Museum Temporer ‘Rekoleksi Memori’ digagas oleh Yulia Evina Bhara, seorang aktivis, produser film dan Direktur Partisipasi Indonesia. Mengapa “rekoleksi memori”, dan mengapa memilih peristiwa 1965?
“Ini adalah proses untuk mengetahui, menggali masa lau dengan cara memanggil kembali ingatan-ingatan dari pelaku sejarah yang tak dicatat dalam buku sejarah. Tragedi kemanusiaan 1965 hanyalah mulanya, setelah ini masih ada kasus pelanggaran HAM berat lainnya,” ujarnya di acara pembukaan.
Dengan membuat “museum” sementara, Yulia bermaksud untuk “merumahkacakan” sejarah dengan menghadirkan kembali masa lalu, mengumpulkan memori, mengenal jatidiri untuk menghapus jejak Orde Baru yang sudah mengakar dalam menanamkan kekerasan. Untuk proyek dengan sasaran generasi muda ini, Yulia menggandeng arsitek Stephanie Larassati, Gosha Muhammad dan WEN Urban Office untuk mewujudkan gagasan tersebut.
Mereka kemudian merancang sebuah paviliun dengan struktur rangka yang tembus pandang. “Yang di luar bisa melihat ke dalam, yang di dalam bisa melihat yang di luar, tapi semua serba buram, samar-samar, seperti memori kita yang tercerai-berai sehingga kebenaran pun menjadi sulit untuk dinyatakan,” tutur Yulia membeberkan filosofi bangunan museum yang digagasnya.
Untuk merasakan dan mengalaminya sendiri, silakan kunjungi Museum Temporer ‘Rekoleksi Memori’ yang dibuka hingga 12 Desember.
(mmu/mmu)