Istilah 'Jawai' (pikun) kerap digunakan Idrus dalam berbagai mural maupun grafiti yang dibuatnya di jalanan kota Aceh. Bahkan, di halaman rumahnya lewat program 'TerasSore', Idrus mengajak anak-anak muda untuk diskusi dan memperbincangkan tentang kondisi sosial, politik, dan kesenian di Aceh.
"Saya mempersilakan siapa saja yang mau gabung. Yuk, kita ngobrol sastra, film, seni rupa, mural, sampai sejarah yang pernah terjadi di Aceh. Semuanya dalam konteks 'menolak Jawai'," terangnya ketika berbincang santai dengan detikHOT, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di akhir 2008, bersama kawan-kawannya lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini mendirikan Komunitas Kanot Bu. Bermula dari spanduk-spanduk yang dibuat seniman Kanot Bu saat kampanye calon legislatif kala itu.
Dengan spanduk bertuliskan, 'Meunyoe Jabatan Ka Di Bloe, 'Oh Hajat Sampoe Di Tarek Laba', yang dilabelkan dengan Partai Kanot Bu. Tak berlangsung lama, spanduk itu pun dicabut aparat setempat. Kejadian ini pula yang melatarbelakangi berdirinya Komunitas Kanot Bu.
Baca Juga: 4 Seniman Aceh Bicara tentang Kotanya di Festival Jakarta Biennale 2015
"Cara-cara ini yang kami lakukan di komunitas agar menolak Jawai. Bukan lagi persoalan lupa tapi Jawai ini lebih parah dari lupa. Pikun yang biasanya ada di orang-orang tua," kata seniman yang pernah meraih juara II dalam lomba poster Hak Asasi Manusia Yap Thiam Hien di tahun 2015.
Lewat Jakarta Biennale 2015, Idrus memperkenalkan metafora dan simbol-simbol perjalanan politik kotanya pasca 1980-an. Ada pesan yang ingin disampaikannya, ada misi yang ingin ditampilkan Idrus kepada masyarakat Jakarta dan seniman internasional.
Sejarah Aceh tidak boleh dilupakan, hal tersebut yang terus menerus diceritakan Idrus dan kawan-kawan Kanot Bu lewat narasi bertutur khas Aceh kepada publik dan generasi muda. "Jangan lupakan sejarah!"
(tia/mmu)











































