'Mata Ekologi', Pameran Tunggal Joseph Praba

'Mata Ekologi', Pameran Tunggal Joseph Praba

- detikHot
Senin, 19 Okt 2015 14:45 WIB
Mata Ekologi, Pameran Tunggal Joseph Praba
Jakarta - Melukis layaknya sebuah kanal yang tidak semata-mata berkutat pada persoalan rupa: komposisi dan gaya. Melukis juga merupakan representasi kegelisahan (ekspresi) saat melihat berbagai persoalan kehidupan. Itu sebabnya, perupa otodidaktik asal Yogyakarta, Joseph Praba, lebih banyak berkarya dengan topik-topik persoalan etika Jawa, lingkungan atau ekologi, dan mitologi.
 
Mengambil tajuk “Mata Ekologi”, Joseph Praba menggelar pameran tunggal seni lukisnya di Bentara Budaya Jakarta, 8-17 Oktober 2015. Seluruh karyanya merupakan ekspresi kesadarannya yang kompleks tentang interaksi antar makhluk hidup serta interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya.

“Mata Ekologi” Joseph Praba mengingatkan kita pada karya Sardono W. Kusumo berjudul “Meta Ekologi” (1975), pergelaran gerak tubuh dengan panggung sebuah kolam lumpur dengan penari yang “menyelam” dan berkubang lumpur. “Mata” dan “meta” memang berbeda makna, tapi kedua karya merujuk pada pergumulan, silang-sengkarut yang intens antarindividu makhluk hidup yang melibatkan lingkungan.

“Semua karya adalah tanggapan terhadap interaksi di relung hati di mana saya hidup. Tanggapan terhadap ketersediaan semua sumber daya hidup, keberadaan pesaing dan pemangsa dalam relung ekosistem ekologi saya. Seni bagi saya itu hidup. Karya seni adalah kepuasan berkarya untuk hidup dan menghidupi,” demikian rumusan Joseph Praba tertulis pada katalog pameran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena itu, tak aneh jika tidak ada gaya yang ditetapkan sebagai identitas kedirian pada karyanya. Joseph ingin berpayung pada sejumlah gaya dan teknik. Di satu sisi, teknik melukis dengan mengandalkan improvisasi bahan sangat kental. Di sisi lain, dia membuat obyek yang dilukis dengan menggunakan kesadaran visual secara penuh, seperti membuat not balok, ikan, burung, dan pohon.

Gaya yang diterapkan juga ambang, wilayah abu-abu antara gaya representatif dan nonrepresentatif. Lukisan tentang irama musik, seperti Palaran #1 dan #2, secara visual yang tampak adalah cipratan bahan dan obyek berupa tanda, yakni not balok. Menurut Joseph, not tersebut memang berbunyi, bisa dilagukan. Jadi Palaran adalah lagu yang bertakhta pada sebidang kanvas.

Berita selengkapnya di Majalah Detik episode 203.

(tia/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads