Kotak yang dipanggil 'senlima' dibuka oleh boneka pria tua. Keluarlah seekor burung yang langsung terbang dengan bebasnya, namun burung itu kembali lagi masuk ke dalam sangkar. Boneka pria tua dan saudara perempuannya memilih narasi yang berbeda dari burung. Mereka punya masa lalu kelam dengan 'mata'. Simbol 'mata' yang hadir punya kekuatan menakuti mereka berdua.
Datang dari dua latar belakang yang berbeda, pementasan 'Senlima' mengisahkan perjalanan tanpa batas. Berasal dari bahasa Espanol, 'Senlima' membicarakan topik batas yang berbeda dari dua negara Jerman dan Yogyakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pertunjukan, 'Senlima' ditampilkan dalam bentuk kotak. "Kotak itu dibuat di Jerman dengan teknologi webcam di dalamnya. Kotak itu juga batas yang dibuat oleh manusia itu sendiri," kata wanita yang akrab disapa Ria ini.
Pentas selama hampir 1,5 jam juga menghadirkan karakter boneka si pria tua, saudara perempuan, seekor burung, simbol mata, dan narasi lainnya. Menurut Ria, grup teater dua negara ini terlibat memiliki sejarah yang hampir sama.
Di Jerman, ada sejarah Tembok Berlin dan di Indonesia ada peristiwa 1965 dan lain-lain. "Kami hidup dari kisah yang berbeda-beda dan hubungannya yang hampir mirip."
Dalam 'Senlima', Papermoon Puppet Theatre bekerja sama dengan grup Retrofuturisten, sebuah kelompok teater independen asal Berlin yang berdiri 2011 lalu di Ernst Busch Academy of Dramatic Art. Mereka terdiri dari sutradara Roscha A.Saldow dan dalangnya Magdalena serta Franzisa Dittrich.
Sutradara Roscha mengatakan grup teaternya baru bertemu dengan Papermoon sejak November 2014. "Pekerjaan dua negara, dua benua dan ini yang pertama kalinya bagi kami," katanya kepada detikHOT.
Proyek ini menjadi salah satu program dari Jerman Fest yang diselenggarakan oleh Gothe Institut Jakarta sampai akhir tahun ini. Ke depannya, 'Senlima' akan dibawa pementasan di Italia dan Jerman.
(tia/tia)











































