Di tengah euforia “start-up” atau perusahaan rintisan yang gegap gempita di luar sana, sekelompok anak muda di Yogyakarta memilih untuk menempuh jalan sunyi. Mereka mendirikan penerbitan buku, dengan proyek perdana terjemahan karya George Orwell, ‘Down and Out in Paris and London’. Dirilis di bawah judul ‘Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London’, buku tersebut merupakan hasil jerih payah penerjemah muda berbakat W Mahardika Putra (23).
Pilihan pada dunia penerbitan itu saja sudah merupakan sesuatu yang barangkali tak lazim di era ketika banyak penerbit Jogja justru tumbang sejak 2004. Ditambah lagi, dengan menerjemahkan buku yang relatif tidak populer dari penulis novel fenomenal ’1984’ dan ‘Animal Farm’ itu. Namun, para pendiri penerbit bernama OAK ini barangkali memang tergolong anak-anak muda yang nekat dan keras kepala. Apa modal mereka?
“Semua jejak kami beranjak dari patungan dan perdebatan, baik gagasan maupun pendanaan,” ujar Dewi Kharisma Michellia, salah satu nama di balik munculnya Penerbit OAK sejak November 2014. Dewi sebelumnya dikenal sebagai penulis naskah pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2013, berjudul ‘Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Ribuan Tahun Cahaya’, yang kemudian diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Munculnya OAK seolah memberi pesan bahwa “buku Jogja” belum mati. Pasca kejayaan pada 2001-2007, penerbit Jogja memang seolah lenyap. Namun bukan berarti punah. Seperti tersirat dari judul buku Orwell, segala hal tentu bisa saja terbenam dan tersingkir. Tapi, bukan hal yang tidak mungkin juga bahwa akhirnya akan selalu ada jalan untuk kembali. Semua itu tentu tak lepas dari kegigihan para “veteran” yang masih terus bergerilya menerbitkan buku dengan segala keterbatasan modal dan teknik produksi, dan munculnya anak-anak muda yang meneruskan estafet mereka.
Mereka bekerja dengan prinsip “tidak kemaruk”, dalam arti tanpa beban keharusan untuk mencetak dalam oplah besar. Mereka menciptakan infrastruktur pemasaran sendiri di luar toko buku mainstream, yakni dengan mendatangi langsung lapak-lapak buku, distributor dan re-seller, hingga memanfaatkan jejaring online via Facebook. Seperti yang dilakukan Adhe Maruf dengan penerbit barunya, Octopus dan Buldhanul Khuri yang menghidupkan kembali penerbit Mata Bangsa.
Adhe dan Buldan adalah dua nama yang tak mungkin tak disebut ketika orang membicarakan tentang jagad buku Jogja. Adhe dengan Penerbit Jendela, dan Buldan dengan Bentang, telah ikut mewarnai industri perbukuan Tanah Air dengan buku-buku “berat” yang kini menjadi karya-karya langk yang diburu para kolektor dan pencinta buku. Buku-buku tersebut mengandung, dalam seperti ungkapan aktivis perbukuan Muhidin M Dahlan, “riwayat dari gabungan sikap idealis, keras kepala, nekat dan sekaligus ngawur”.
Nekat dan ngawur yang dimaksud Muhidin tentu harus dimaknai secara positif. Dan, gairah itulah yang kini dirasakan oleh Adhe hadir kembali. “Ini tahun yang sibuk bagi sebagian aktivis perbukuan Jogja,” ujarnya seraya menambahkan bahwa gelagat itu sebenarnya sudah dimulai sejak akhir 2013. Misalnya, terlihat dari munculnya acara-acara seperti Book Lovers Festival dan Pasar Buku Indie.
“Saya yang menjalani dan menyaksikan pergerakan aktivitas perbukuan di kota ini sejak masa runtuhnya Orde Baru, sekarang merasakan semangat yang besar…gairahnya rada mirip dengan zaman anak-anak muda memulai semua ini bertahun-tahun lalu,” ujar penulis buku ‘Declare: Kamar Kerja Penerbit Jogja (KPJ, 2007) dan ‘Belajar Nakal: Catatan Berantakan dari Kota Setengah Gila’ (Aline, 2005) itu.
Munculnya Penerbit OAK tak lepas dari pengamatan Adhe, juga penerbit alternatif seperti Indie Book Corner yang dipimpin oleh Irwan Bajang, yang menjadi perbincangan publik karena baru-baru ini muncul di acara 'Kick Andy' Metro TV. Adhe juga mencatat, forum-forum seperti Junggringan Buku yang digelar di Angkringan Mojok milik sastrawan Puthut EA, serta program bernama Hello Books yang diprakarsai kolektor buku Andre Tanama sebagai bagian dari geliat kembalinya buku “berat” yang akan mengantarkan ke kejayaan buku Jogja seperti dulu.
Yang tak kalah menggembirakan bagi Adhe, para “veteran” perbukuan Jogja rupanya juga memperhatikan perkembangan mutakhir tersebut. “Saya berhasil meyakinkan Mas Buldanul Khuri untuk produksi lagi,” ujarnya. Adhe sendiri saat ini tengah menggodok sebuah acara yang diberi nama Kampung Buku Jogja. Diklaim sebagai “event langka yang menghadirkan buku-buku langka”, acara ini akan digelar di Foodpark Lembah UGM, 8-10 Oktober 20015.
Menurut Adhe, sejumlah penerbit dan pelapak buku seantero Jogja dan dari berbagai kota telah menyatakan kesiapannya untuk memeriahkan acara tersebut. “Mari beramai-ramai datang menikmati buku-buku sastra, sejarah, politik, seni, budaya, pemikiran, spiritualitas, dan kiri. Kategorinya buku langka, lawas, tua, antik, reguler (baru), dan indie,” ajaknya.
(mmu/mmu)











































