Satu per satu anggota paguyuban kebatinan mati setelah penyerangan kantor DPD PDI Pro-Mega Jakarta pada 27 Juli 1996. Saat itu, mereka tengah melakukan napak tilas perjalanan Sawito Kartowibowo, seorang tokoh spiritual yang pernah dipenjara oleh rezim Orde Baru Soeharto. Pernah dengar cerita itu?
Inilah salah satu faktor yang selama ini tak pernah diperhitungkan oleh para pengamat, analis dan ilmuwan sosial-politik yang mengkaji sebab-sebab kejatuhan Orde Baru. Bahwa ternyata, di luar sepengetahuan umum, di balik tumbangnya Soeharto ada sekelompok tokoh aliran kebatinan Jawa yang melakukan gerakan bawah tanah. Tentu saja hal itu tidak dilakukan dengan mudah, sebab Soeharto sendiri juga seorang yang percaya dan bahkan terobsesi pada hal-hal berbau mistis sebagai cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Konon, ia dibentengi oleh sebuah kekuatan, yang kemudian bertarung dengan kelompok kebatinan tadi. Semua itu jauh dari hiruk-pikuk mahasiswa yang berdemo dan menduduki gedung DPR.
Tapi, sebentar, apakah Anda percaya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Novel ini dibuka dengan apa yang terjadi 12 tahun kemudian, dan mengukti perjalanan dua anggota paguyuban kebatinan tersebut, Jeanne dan Suryo, yang masih dihantui oleh halusinasi. Di Vietnam, Jeanne bertemu dengan lelaki buntung yang mengajaknya mengisap bubuk pembayang sebuah kuil penenanng di dasar laut. Di Kamboja, suryo merasa dikejar teluh. Lalu, apa kaitannya peristiwa-peristiwa aneh yang dialami Jeanne dan Suryo di luar negeri itu dengan peristiwa bersejarah di Tanah Air?
Memadukan dunia jurnalistik dan sastra, Seno Joko Suyono mengajak pembaca menyusuri lapis-lapis kenangan dan trauma dalam benak Jeanne dan Suryo, yang ternyata memiliki persambungan dengan sejarah candi-candi di Siem Reap (Kamboja), Luang Prabhang (Laos) dan Da Nang (Vietnam). Membaca novel ini serasa melakukan perjalanan sejarah dan spiritual ke tempat-tempat eksotik di Asia Tengara.
Menggarap tema besar yang bersinggungan, novel berjudul ‘Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth’ (Penerbit Literati, Jakarta) karya Pandu Hamzah juga mengajak pembaca mengarungi dunia mistis. Bedanya, panggung novel ini mengambil tempat di sebuah desa di Kuningan, Jawa Barat. Novel ini dibuka sebagai sebuah memoar dari pengarangnya. Sang Aku baru dalam hitungan hari menempati rumah di kaki Gunung Ciremai. Pada suatu malam, ia didatangi dua lelaki misterius yang menanyakan perihal anak perempuan kampung yang hilang.
Peristiwa itu mengusik naluri “si aku” untuk ikut mencari keterangan, dan hal itu mengantarkannya ke dalam sebuah petualangan ke dunia masa lalu yang penuh mitos. Pembaca akan bertemu dengan Ulu-ulu, Gadis Ajag hingga Bocah Hitam Bisu, juga Pohon Kiara, Lelaki Penebang Pohon dan Zasu. Siapa mereka? Apakah keberadaan mereka itu nyata, atau hanya dongeng belaka? Dari sini, Pandu Hamzah menuntun pembaca, dengan narasi yang tenang dan sesekali puitis, ke dalam perspektif ‘kearifan lokal’ untuk hidup berdampingan dengan alam.
Novel ini mengingatkan pada perusahaan energi multinasional yang pernah mengendus potensi geothermal yang sangat besar di sekitar Gunung Ciremai. Setelah membaca novel ini, pembaca mungkin akan bisa menyimpulkan sendiri, mengapa pada awal 2015 mendadak perusahaan asal Amerika tersebut mengundurkan diri dari rencana proyek itu, tanpa alasan yang jelas.
(mmu/mmu)