Salah satunya adalah penerbit Moka Media yang antara lain mengorbitkan penulis muda bernama Sabda Armandio dengan novel berjudul βKamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercayaβ. Novel ini menjadi salah satu karya yang digadang-gadang di kalangan pengamat dan pecinta fiksi di Indonesia. Novel baru lainnya yang menarik perhatian adalah βNapas Mayatβ karya Bagus Dwi Hananto yang sebelum diterbitkan merupakan naskah Pemenang III Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014.
Meskipun menggarap wilayah tema, kedua novel tersebut dihubungkan oleh kesamaan penulisnya yang sama-sama datang dari generasi paling muda dalam panggung sastra Indonesia. Keduanya lahir di awal dekade 90-an, dan menulis dengan referensi bacaan yang luas. Pada karya keduanya tak terlalu sulit untuk mengendus pengaruh dari Albert Camus hingga Haruki Murakami. Seperti dikatakan sendiri dengan nada retoris oleh Sabda, siapa yang tak terpengaruh oleh Camus, dengan novelnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul βOrang Asingβ?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanda Armandio menandai debut penulisan novelnya dengan sebuah karya dalam kemasan mungil, dengan sampul yang mudah disalapahami sebagai buku lawak ala Raditya Dika. Dengan ukuran buku yang lebih lebih kecil dari ukuran biasa, dan desain sampul yang minimalis, novel yang diluncurkan di sebuah toko buku mungil di Pasar Santa, Jakarta ini barangkali akan mudah terlewat dari perhatian pengujung buku. Padahal isinya cukup menjanjikan, dan setidaknya patut diperhatikan.
Di masa mendatang, Sabda bisa diharapkan untuk tampil sebagai penulis yang lebih serius. Bakatnya sangat nyata. Tulisannya mengalir deras, lancar, enak diikuti. Novel berjudul lengkap βKamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya' ini termasuk tipe yang bisa dibaca sekali duduk; bukan karena teksnya pendek melainkan karena memang memberikan kesenangan tertentu. βKamuβ berkisah tentang kenangan seorang pria berusia 27 tahun. Novel ini mengisahkan masa-masa SMA sang tokoh, sebagai murid yang gemar membolos. Novel ini mengikuti tiga hari dalam hidup si pembolos, ketika ia dihadapkan pada pilihan, antara sahabat dan mantan pacarnya βtentu saja dua-duanya cewek.
Si sahabat memintanya menemani ini dan itu, sedangkan si mantan pacar memintanya menemaninya periksa kehamilan βia hamil dengan cowok lain, dan itulah yang membuat mereka putus. Mungkin ini bisa dimaknai sebagai tiga hari terpenting dalam hidup si βakuβ, yang telah membentuk diri dan pendewasaannya. Tak ada kejadian besar, atau penting. Si Aku ini hanya seperti orang meracau, ngalor-ngidul. Kejadian-kejadian yang dialaminya pun konyol, dan tidak berarti. Pergi ke Bogor, dihadang oleh βbadai monyet paritβ (apa ini?), ketemu gorila yang bisa bicara (Anda tentu langsung teringat βIshmaelβ-nya Daniel Quinn), mencari sendok milik tukang bakso yang hilangβ¦tapi tunggu! ini bukan omong kosong yang hampa.
Inilah wajah generasi terkini, dan cermin isi pikiran serta βideologiβ mereka. Membaca novel generasi Sabda sama artinya dengan memahami sisi lain, βside Bβ, dari dunia lawak Raditya Dika yang telah demikian mendominasi dan menjadi mainstream dalam khasanah penulisan fiksi anak muda. Sabda telah menunjukkan, bahwa ada dunia lain, dunia yang berbeda dari anak-anak gaul-ngocol dengan lawakan-lawakan galau tentang mantan dan jomblo. Tokoh βakuβ dalam βKamuβ bisa jadi mengingatkan pembaca pada sosok legendaris Rangga yang jarang tersenyum, apalagi tertawa, omongannya serba serius, dan ke mana-mana menenteng buku sastra. Tapi, sekali lagi, tetap ada bedanya.
Si Aku dalam novel ini perpaduan antara remaja begajulan, sastrawan dan filsuf. Seorang anak muda dengan selera musik βtuaβ (dapat salam dari The Byrds), melahap serial-serial animasi Jepang, tapi juga membaca Idrus dan Kurt Vannegurt. Di dunia nyata, terbayang, barangkali akan sangat membosankan bertemu dengan orang seperti itu. Tapi, Sabda berhasil mengoplosnya dengan racikan yang, tak terlalu salah bila dibilang ambisius bahkan mungkin pretensius, tapi ia mencoba menetralkannya dengan takaran humor yang pas.
Bagi pembaca βdewasaβ, mungkin akan merasa kembali ke masa puber, atau bahkan mendadak jadi βpuber keduaβ, setelah membaca novel ini. Tapi, siapapun Anda, tak akan sulit untuk jatuh cinta, misalnya, dengan sahabat Si Aku, yang tak punya nama, hanya dipanggil sebagai Kamu, seorang cewek yang selalu mengucapkan kata βsalutβ sebelum mengatakan sesuatu. Ini lucu. Karakterisasi seperti itu adalah salah satu contoh kekuatan dari novel ini.
(mmu/mmu)











































