Salut! Ngalor-ngidul Generasi "Murakami" (1)

Novel-novel Indonesia 2015

Salut! Ngalor-ngidul Generasi "Murakami" (1)

Is Mujiarso - detikHot
Jumat, 19 Jun 2015 15:17 WIB
Salut! Ngalor-ngidul Generasi Murakami (1)
Jakarta - Memasuki tahun 2015, penerbitan buku fiksi di Tanah Air semakin semarak dan bergairah. Sementara penulis senior seperti Nh. Dini masih merilis karyanya, dan penyair Sapardi Djoko Damano menyulap puisi legendarisnya β€˜Hujan Bulan Juni’ menjadi novel, penulis baru pun terus bermunculan, bahkan juga penerbit baru.

Salah satunya adalah penerbit Moka Media yang antara lain mengorbitkan penulis muda bernama Sabda Armandio dengan novel berjudul β€˜Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya’. Novel ini menjadi salah satu karya yang digadang-gadang di kalangan pengamat dan pecinta fiksi di Indonesia. Novel baru lainnya yang menarik perhatian adalah β€˜Napas Mayat’ karya Bagus Dwi Hananto yang sebelum diterbitkan merupakan naskah Pemenang III Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014.

Meskipun menggarap wilayah tema, kedua novel tersebut dihubungkan oleh kesamaan penulisnya yang sama-sama datang dari generasi paling muda dalam panggung sastra Indonesia. Keduanya lahir di awal dekade 90-an, dan menulis dengan referensi bacaan yang luas. Pada karya keduanya tak terlalu sulit untuk mengendus pengaruh dari Albert Camus hingga Haruki Murakami. Seperti dikatakan sendiri dengan nada retoris oleh Sabda, siapa yang tak terpengaruh oleh Camus, dengan novelnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul β€˜Orang Asing’?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan Murakami, siapa generasi pembaca sastra zaman ini yang tak melahap novel-novelnya? Keranjingan penulis-penulis muda pada novelis β€œhipster” asal Jepang itu bahkan demikian dalam mempengaruhi sampai ke penciptaan karakter tokoh. Dalam novel β€˜Kamu’ karya Sabda misalnya, tokoh utamanya, yang hadir sebagai "aku", salah satu jari tangannya hilang, sama seperti tokoh dalam salah satu karya Murakami.

Sanda Armandio menandai debut penulisan novelnya dengan sebuah karya dalam kemasan mungil, dengan sampul yang mudah disalapahami sebagai buku lawak ala Raditya Dika. Dengan ukuran buku yang lebih lebih kecil dari ukuran biasa, dan desain sampul yang minimalis, novel yang diluncurkan di sebuah toko buku mungil di Pasar Santa, Jakarta ini barangkali akan mudah terlewat dari perhatian pengujung buku. Padahal isinya cukup menjanjikan, dan setidaknya patut diperhatikan.

Di masa mendatang, Sabda bisa diharapkan untuk tampil sebagai penulis yang lebih serius. Bakatnya sangat nyata. Tulisannya mengalir deras, lancar, enak diikuti. Novel berjudul lengkap β€˜Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya' ini termasuk tipe yang bisa dibaca sekali duduk; bukan karena teksnya pendek melainkan karena memang memberikan kesenangan tertentu. β€˜Kamu’ berkisah tentang kenangan seorang pria berusia 27 tahun. Novel ini mengisahkan masa-masa SMA sang tokoh, sebagai murid yang gemar membolos. Novel ini mengikuti tiga hari dalam hidup si pembolos, ketika ia dihadapkan pada pilihan, antara sahabat dan mantan pacarnya β€”tentu saja dua-duanya cewek.

Si sahabat memintanya menemani ini dan itu, sedangkan si mantan pacar memintanya menemaninya periksa kehamilan β€”ia hamil dengan cowok lain, dan itulah yang membuat mereka putus. Mungkin ini bisa dimaknai sebagai tiga hari terpenting dalam hidup si β€œaku”, yang telah membentuk diri dan pendewasaannya. Tak ada kejadian besar, atau penting. Si Aku ini hanya seperti orang meracau, ngalor-ngidul. Kejadian-kejadian yang dialaminya pun konyol, dan tidak berarti. Pergi ke Bogor, dihadang oleh β€œbadai monyet parit” (apa ini?), ketemu gorila yang bisa bicara (Anda tentu langsung teringat β€˜Ishmael’-nya Daniel Quinn), mencari sendok milik tukang bakso yang hilang…tapi tunggu! ini bukan omong kosong yang hampa.

Inilah wajah generasi terkini, dan cermin isi pikiran serta β€œideologi” mereka. Membaca novel generasi Sabda sama artinya dengan memahami sisi lain, β€œside B”, dari dunia lawak Raditya Dika yang telah demikian mendominasi dan menjadi mainstream dalam khasanah penulisan fiksi anak muda. Sabda telah menunjukkan, bahwa ada dunia lain, dunia yang berbeda dari anak-anak gaul-ngocol dengan lawakan-lawakan galau tentang mantan dan jomblo. Tokoh β€œaku” dalam β€˜Kamu’ bisa jadi mengingatkan pembaca pada sosok legendaris Rangga yang jarang tersenyum, apalagi tertawa, omongannya serba serius, dan ke mana-mana menenteng buku sastra. Tapi, sekali lagi, tetap ada bedanya.

Si Aku dalam novel ini perpaduan antara remaja begajulan, sastrawan dan filsuf. Seorang anak muda dengan selera musik β€œtua” (dapat salam dari The Byrds), melahap serial-serial animasi Jepang, tapi juga membaca Idrus dan Kurt Vannegurt. Di dunia nyata, terbayang, barangkali akan sangat membosankan bertemu dengan orang seperti itu. Tapi, Sabda berhasil mengoplosnya dengan racikan yang, tak terlalu salah bila dibilang ambisius bahkan mungkin pretensius, tapi ia mencoba menetralkannya dengan takaran humor yang pas.

Bagi pembaca β€œdewasa”, mungkin akan merasa kembali ke masa puber, atau bahkan mendadak jadi β€œpuber kedua”, setelah membaca novel ini. Tapi, siapapun Anda, tak akan sulit untuk jatuh cinta, misalnya, dengan sahabat Si Aku, yang tak punya nama, hanya dipanggil sebagai Kamu, seorang cewek yang selalu mengucapkan kata β€œsalut” sebelum mengatakan sesuatu. Ini lucu. Karakterisasi seperti itu adalah salah satu contoh kekuatan dari novel ini.




(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads