Para pengunjung yang hadir pun sibuk membaca katalog sebesar ukuran koran cetak. Berjudul 'Spatial History' karya Irwan Ahmett dengan kurator Jim Supangkat. Serta penasehat Melani Setiawan, Emile Schwidder, Cosmas Batubara, dan Elly Kent.
"18 tahun yang lalu lewat kertas saya membuktikan monumen cinta saja untuk mantan pacar saya Tita. Saat itu yang ada faks, maka saya memberikannya lewat faks," ucap Irwan memulai aksi seninya di Teater Kecil, TIM, Rabu (11/3/2015) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca Juga: Pembacaan Puisi di Taman, Dimulainya ASEAN Literary Festival 2015
Berbagai peristiwa personal tersebut membawanya kepada satu konsep seni mengenai 'Supersemar'. Lalu apa kaitannya dengan Surat Perintah 11 Maret tersebut?

"Dengan polosnya saya ingin temukan kebenaran, ternyata saya keliru dan justru menemukan banyak hal. Lalu saya kembali ke tabula rasa, bahasa latinnya kertas kosong," katanya.
Melalui 'Spatial History', seniman Irwan Ahmett merespons kerumitan sejarah dan situasi politik pada 1966 silam. Khususnya yang terkait pemberian mandat kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto melalui selembar kertas yang dikenal dengan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Namun, keotentikan surat tersebut tidak diketahui kebenarannya. Usaha-usaha untuk menemukan surat yang asli pun belum membuahkan hasil. Irwan pun melihat sebuah 'ruang kosong' yang sulit dipahami sejarah namun disanalah imajinasi dirinya sebagai seniman berusaha 'menemukan kembali'.
Sesuai dengan ciri khas humor dan satire dalam setiap karya-karyanya, Irwan seakan mempertanyakan 'Supersemar', monumen yang menjadi kontroversi.
"Ada yang banyak monumen yang didirikan di penjuru negara ini. Tapi saya menyatakan mendirikan monumen Supersemar. The non-existence Supersemar," ucapnya mengakhiri.
Di depan publik, ia memperlihatkan dua lembar 'Supersemar' menurut kacamata dirinya. Dua lembar tersebut berjudul 'Spatial History' dan 'Grafiti on History' yang membuat decak kagum sekaligus pertanyaan bagi yang hadir malam itu.
(tia/mmu)