Museum dan Orang-orang 'Gila' (1)

Museum dan Orang-orang 'Gila' (1)

- detikHot
Rabu, 28 Mei 2014 12:13 WIB
Museum dan Orang-orang Gila (1)
Dwi Cahyono sang pendiri Museum Malang Tempo Doeloe (Sudrajat/detikHOT)
Jakarta - Dari sekitar 300 museum di tanah air, 15 persen di antaranya adalah milik pribadi atau kalangan swasta. Mereka tidak semuanya termasuk yang kelebihan uang, tapi rela merogoh kocek pribadi hingga miliaran rupiah tanpa berharap keuntungan. Hanya satu komitmen yang menjadi pegangan; ingin memuliakan kebudayaan. Tak cuma mengelontorkan banyak dana, sesekali teror yang mengancam jiwa pun harus dihadapi.

β€œKalau memikirkan keuntungan ya tak akan pernah ada museum,” kata Dwi Cahyono, 48 tahun, pendiri Museum Malang Tempo Doeloe saat menjadi pembicara pada Pertemuan Nasional Museum Seluruh Indonesia di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Kamis lalu. β€œKalau ada yang menyebut kami ini orang gila ya diterima saja dengan ikhlas,” timpal Udaya Halim, 61, pendiri Museum Benteng Heritage, dan Rahmat Shah pendiri International Wildlife Museum & Gallery di Medan.

Ketiganya berbagi pengalaman dalam mengelola museum yang menarik dan diminati pengunjung. Berikut ini sekelumit kisah mereka.

***

Dwi Cahyono: Berburu Koleksi Hingga ke Belanda

Tak cuma rekan-rekannya sesama pengusaha, semula kedua orang tua dan isterinya pun menentang aktivitas Dwi Cahyono. Ia dianggap gila karena menghambur-hamburkan uang hasil bisnisnya untuk membangun dan mengelola museum. β€œTapi karena saya serius menekuni ini, mereka akhirnya menyokong upaya saya,” kata saat berbincang dengan detikHOT saat rehat acara Pertemuan Nasional Museum Seluruh Indonesia.

Setelah bertahun-tahun mengumpulkan benda-benda yang terkait dengan sejarah Kota Malang, baru pada 2012 ia resmi mendirikan Museum Malang Tempo Doeloe. Di hadapan para peserta, ia menuturkan dirinya mulai merancang museum sejak Juni 1997.

Karena dana terbatas, sekaligus sebagai perkenalan kepada masyarakat ia terlebih dahulu membuka restoran. Aneka foto dan benda-benda bersejarah terkait Kota Malang ia pajang sebagai penghias restoran. Ada radio, kamera, mesin ketik, contoh iklan dan surat kabar di era kolonial Belanda dan Jepang, serta foto-foto lama para pejuang. Mulai Bung Karno, Moh. Hatta, Sjahrir, hingga Bung Tomo.

β€œDari situ pengunjung mulai tertarik untuk menggali informasi lebih jauh tentang sejarah kota tempatnya tinggal,” kata Dwi yang pernah menekuni ilmu manajemen di sebuah universitas di Sydney, Australia.

Dalam perjalanannya, suami dari Mar'atun Nafiah itu mendapatkan sumbangan dari tokoh-tokoh maupun ahli waris yang menyimpan barang-barang bersejarah. Ia antara lain mencontohkan foto Bung Karno saat di Malang dan pakaian para petinggi daerah di masa penjajahan Belanda.

"Untuk mendapatkan foto-foto bupati Malang dari yang pertama sampai yang sekarang, misalnya, saya butuh waktu 10 tahun. Saya juga pernah berburu koleksi ke Kalimantan, Sumatera, bahkan ke Belanda,” katanya.

Kini di dalam museum seluas 900 meter persegi itu dilengkapi perangkat audio visual yang diputar di layar televisi 20 inci yang ada di hampir setiap ruang. Sebagian berupa film dokumenter, maupun kreasinya sendiri berdasarkan buku-buku sejarah. Misalnya tentang Ken Arok (pendiri dan raja Singhasari).

Tapi tak semua senang dengan apa yang ditempuh Dwi. Upayanya mengkampanyekan perlindungan terhadap bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah untuk dijadikan cagar budaya kerap berbenturan dengan kepentingan ekonomi. Ada kalanya pemerintah daerah lebih berpihak kepada pihak swasta yang ingin mengkomersialkan cagar budaya yang ada. β€œSayangnya itu ditempuh dengan mengubah bahkan menghancurkannya,” kata Dwi.

Tak heran bila perbedaan komitmen itu harus berbuah teror terhadap pribadinya. Perizinan menyangkut aktivitas kebudayaan yang akan dilakukan mendadak jadi sulit, misalnya. β€œSaya juga pernah dilaporkan ke polisi,” ujarnya. Tapi ia berkeras tak mau kasusnya itu ditulis.

Selain mendirikan museum, sejak 2006 Dwi juga memprakarsai Festival Malang. Awal Mei lalu, festival mengambil tema β€œSatoes Akoe 100 Lakoe”. Meski cuma satu hari, festival itu menyiapkan banyak panggung untuk menampilkan beragam kesenian khas Malang, seperti Wayang, Ludruk, Dolanan, Kentrung, Keroncong, dan lainnya.

(alx/ich)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads