Alatnya pun tradisional, berupa jarum yang dilengkapi tungkai kayu. Tekniknya dipukulkan beberapa kali pada satu titik hingga memunculkan warna hitam, baru setelah itu pukulan jarum akan berpindah ke titik selanjutnya hingga terciptalah sebuah gambar, yang tentu saja ada maknanya sendiri.
"Hitamnya itu dari tempurung kelapa yang sudah jadi abu atau kerak panci. Jadi kalau mau ditato di sana enggak bisa langsung. Karena musti dibakar dulu dan dikerok keesokan harinya," kata Refi di acara bertajuk 'Arus Balik Seni Tradisi Rajah Tubuh Indonesia' itu.
Refi mendokumentasikan tato dari masyarakat adat di Mentawai dan Kalimantan, selama di sana ia hidup berdampingan dengan masyarakat adat Siberut dan Dayak. "Karena suka sekali dengan tato, tujuan saya pertama untuk mengabadikan tato itu dan pada kenyataannya sangat susah sekali. Setahu saya dulu di Indonesia belum ada yang mendokumentasikan itu," tuturnya.
Selama tiga pekan berada di Mentawai, ia tak kunjung menemukan orang yang mau ditato secara tradisional. "Selama tiga minggu enggak ada orang sana yang mau ditato, akhirnya kaki saya yang ditato. Waktu itu ada bapak yang bersedia membuatkan tapi syaratknya harus ada pesta," jelasnya.
Ia pun menceritakan bahwa ada banyak masyarakat adat yang bingung kenapa orang pendatang seperti Refi justru mau ditato secara tradisional, sementara di sana sudah ada pergeseran budaya pada cara mentato tubuh.
Untuk pesta itu sendiri, ia harus bayar tiga atau empat juta rupaiah untuk masak babi. "Tapi karena biaya ini berat juga buat saya, akhirnya ngobrol-ngobrol dan diganti dengan ayam. Pesta ini sebagai bentuk apresiasi kita kepada seniman tatonya, jadi seperti itu masyarakat adat sangat tahu hak," ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam prosesnya ia ditato dengan menggunakan jarum peniti besar. "Sakitnya minta ampun apalagi pas di tulang kering, itu bisa bengkak berhari-hari," paparnya. Namun ia merasa pengalaman ini tetap berharga dan jadi titik awalnya untuk terus berkontribusi untuk mempertahankan dan mengabadikan warisan leluhur.
"Senang sekali saya bisa mendokumentasikan ini, walaupun saya mendokumentasikan tidak secara utuh, cuma kaki saya sendiri." Kini ia sudah memiliki banyak koleksi dokumentasi tato tradisi.
Adapun beberapa upaya yang ia lakukan agar nilai budaya ini tidak bergeser di tempat asalnya, sekaligus memperkenalkan warisan leluhur pada masyarakat urban. Sembari bercerita, ia menunjukan tato di kaki yang ia dapat dari masyarakat adat.
"Sakitnya kalau saya ingat itu berat sekali, kebetulan setelah ditato saya harus langsung pulang dan ketinggalan perahu jadi saya harus ganti pakai kapal nelayan. Dan itu saya demam," kenang Refi.
(ass/mmu)











































