Seni Pernah Jadi Senjata Melawan Komunisme

Seni Dijadikan Alat Diplomasi (1)

Seni Pernah Jadi Senjata Melawan Komunisme

- detikHot
Kamis, 22 Mei 2014 16:18 WIB
Ilustrasi (Astrid Septriana/detikHOT)
Jakarta - Pada puncak Perang Dingin, Departemen Luar Negeri AS mengerahkan sebuah senjata baru dalam memerangi komunisme, yakni musik jazz. Selama periode 20 tahun, mereka mengirim beberapa musisi terbesarnya seperti Dizzie Gillespie, Louis Armstrong dan Duke Ellington untuk tampil di Afrika, Asia dan Timur Tengah bahkan ke Uni Soviet.

"Di Uni Soviet, Benny Goodman memainkan klarinetnya di Red Square, dalam perang batin dan logikanya," tulis Dr Tiffany Jenkins, sosiolog dan penulis, dilansir BBC (22/05/2014). Pada saat itu, 6 November 1955 harian New York Times menuliskan dalam sampulnya β€œSenjata rahasia Amerika adalah notasi biru di kunci minor." Saat itu pula musisi Louis Armstrong mendapat gelar sebagai duta paling efektif.

Dibandingkan mengirimkan orkestra simfoni tradisional yang disertai dengan balerina yang energik, cara ini bisa memperkenalkan nilai Amerika Serikat yang baru, dengan alunan notasi musik yang baru dan ekspresif. Jazz saat itu tampak membicarakan soal kebebasan seorang individual untuk melakukan hal yang disuka.

Selain itu, kebanyakan musisi Jazz berkulit hitam, mereka dikirim ke berbagai belahan dunia untuk membuktikan bahwa Amerika sudah mengalami pencerahan. Ini sangat penting terutama karena pada saat bersamaan negeri ini menghadapi masalah tentang rasis. Segregasi di Selatan dan perjuangan hak-hak sipil mencoreng citra Amerika. Propaganda Uni Soviet, mengejek bentuk ideal Amerika yang diproyeksikan sebagai kekosongan.

Duta jazz secara keuangan diuntungkan, dan mereka juga mendapat pengakuan. Ini menunjukan bahwa saat mereka sudah tiba, nada yang mereka ciptakan juga diapresiasi. Namun banyak yang tidak nyaman dengan bunyi-bunyian terompet Amerika dan berbicara menentang kebijakan dalam negeri.

Dizzy Gillespie, seniman jazz kulit hitam. Salah satu yang tak nyaman untuk menjadi duta seperti ini. Ia mengikuti perjalanan pertama Departemen Luar Negeri, tapi tidak datang pada sebuah acara briefing resmi. Ia mengatakan bahwa "Tidak akan memaafkan soal kebijakan rasis di Amerika." Ia pun kerap menghindar untuk hadir bersama petinggi penting di departemen itu. Sebaliknya, ia justru sering bermusik bersama musisi lokal dan bermain musik untuk menghibur orang miskin.

Tahun 1990-an bentuk seni lain terungkap sebagai bagian dari propaganda untuk menjalankan kampanye melawan blok Komunis. CIA mengembangkan dan mempromosikan seni modern Amerika, aliran ekspresionisme abstrak, seperti karya Jackson Pollock, Mark Rothko, Robert Motherwell dan Willem de Kooning. Aliran ini dipilih karena memiliki gaya yang menggetarkan dan memiliki kontras dramatis terhadap realisme sosialis Uni Soviet yang kaku.

(ass/ich)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads