Hal ini dikatakan oleh maestro puisi Sapardi Djoko Damodo dalam diskusi buku bertajuk 'Sitti Nurbaya dan Harkat Perempuan' yang diadakan Yayasan Lontar.
"Novel yang diterbitkan Balai Pustaka ini adalah novel sastra pertama yang terpenting di Indonesia," ujarnya di Galeri Indonesia Kaya, Selasa lalu (8/4/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di masa itu yang bersekolah adalah mereka golongan menengah ke atas dan pasti membaca novel ini karena bisa membaca. Apalagi saat itu terbitan Penerbit Balai Pustaka mendominasinya dengan editor Sutan Takdir Alisjahbana," katanya.
Kedua, penerbit Balai Pustaka juga memakai bahasa Melayu versi Balai Pustaka, bukan Hindia Belanda yang saat itu digunakan di media massa. Mereka juga menyuplai masyarakat pribumi dengan bacaan Balai Pustaka.
Menurutnya, saat itu pihak penerbit mengadakan konsep perpustakaan keliling yang bisa dibaca oleh siapa pun. "Ini yang membuat mereka dibaca menyeluruh."
Ketiga, kata Sapardi sebenarnya novel ini tidak hanya menceritakan kisah percintaan antara Samsul Bachri dan Sitti Nurbaya saja. Tapi terdapat pesan politis di baliknya. Inilah tujuan sebenarnya dari penulis Marah Rusli dan penerbit Balai Pustaka menerbitkannya.
"Marah Rusli memang ingin menghibur tapi dia punya misi sosial sesuai keadaan saat itu. Sebelum abad ke 19 banyak pemberontakan di Sumatera Barat," ujarnya.
Salah satunya adalah saat para Datuk-datuk di Sumatera Barat melakukan pemberontakan kepada Belanda, termasuk Datuk Meringgih. Serta dalam kisah ini terdapat perdebatan antara kultur Minang, agama, posisi wanita dalam masyarakat dan poliandri itu sendiri.
Oleh karena itu, Sapardi mengatakan karya ini akan tetap kuat dan mampu diadaptasi dalam berbagai konteks. Sayangnya, kebanyakan dari mereka yang menggubahnya hanya menampilkan bagian kisah cinta yang tak tercapai di antara kedua tokoh utama itu saja. Kini, novel 'Sitti Nurbaya' juga bisa dibaca dalam versi bahasa Inggris yang diterbitkan Yayasan Lontar.
(tia/utw)