"Ia sudah menjadi saksi bisu apa yang terjadi terhadap warga Tionghoa di Jakarta," ujarnya pengurus kelenteng, Yu Ie kepada detikHOT akhir pekan lalu.
Yu Ie juga menceritakan jika kelenteng ini pernah ikut dirusak dan dibakar saat peristiwa pembantaian warga Tionghoa terbesar sepanjang sejarah pada Oktober 1740 silam. Saat itu mengakibatkan terbunuhnya 10 ribu jiwa tak berdosa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam buku 'Klenteng-Klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta' karya CI.Salmon dan D.Lombard yang diterbitkan Yayasan Cipta Loka Caraka mengatakan pada abad ke 18, ada 18 orang biksu yang tinggal di dalamnya.
Di sana juga disebutkan antara tahun 1860 dan akhir abad ke 19 ada 14 kelenteng yang dibangun. Sayangnya tidak ada batu peringatan maupun tulisan untuk mengetahui sejarahnya.
Yu Ie juga menjelaskan kelenteng ini juga menjadi saksi ketika terjadi penjarahan besar-besaran di kawasan Glodok, Jakarta Pusat.
"Tapi saat itu enggak sampai seperti abad ke 17. Bangunannya masih tergolong aman sampai sekarang ini," ujarnya.
Justru kelenteng ini dianggap sebagai rumah ibadat yang tidak memuja salah satu agama atau aliran tertentu. Seperti aliran Tao, Buddha, dan Konghuchu.
"Siapa pun boleh sembahyang di sini. Kami di sini dikenal dengan kelenteng multikultural," kata Yu Ie.
Mereka merasa lega dan bebas beragama ketika masa Presiden Abdrurrahman Wahid atau Gus Dur yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang berisi larangan keras bagi kegiatan kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.
Lantaran itu, kata Yu Ie, pihaknya kini lebih bebas untuk merayakan Imlek setiap tahunnya. "Semua orang dari aliran mana pun, orang biasa atau pejabat pemerintahan juga bisa berdoa di sini."
(tia/utw)