Sejumlah kartunis dan seniman instalasi dari berbagai daerah di Indonesia, pada tanggal 18-29 Desember lalu menggelar 60 karya mereka di ajang 'Pesta Kartun Akhir Tahun' di Galeri III Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Apakah proses pembuatannya sama dengan melukis? Ternyata tidak. Seorang kartunis bukan pelukis. Tapi, kadang kedua profesi ini dimiliki satu orang yang sama. Dari beberapa kartunis yang ditemui detikHot akhir pekan lalu, ada sejumlah kisah menarik dibalik loyalitas profesi mereka selama ini. Seperti apa? Simak laporan berikut :
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sabtu siang (28/12/2013) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, cuaca begitu terik menyengat. Duduk di warung sambil menyeruput es jeruk tentu terasa nikmat. Tak lama, pesan masuk berbunyi. Dari seseorang yang sedari tadi ditunggu. "Kamu dimana? Aku di depan ruang pameran nih pakai baju garis-garis".
Sejenak es jeruk yang masih sisa setengah dibiarkan menganggur. Kaki ini sigap melangkah ke tempat tersebut. Memang, ada pria memakai baju garis-garis. Tapi, rasanya bukan dia.

Sempat celingak celinguk, tiba-tiba muncul pria lain menyapa. "Hai, kamu pasti saya cari kan? Saya Jitet," katanya. "Maaf ya saya iseng ngerjain. He-he-he".
Dia-lah Jitet Kustana. Kartunis senior Harian Nasional Kompas. Meski tak lagi muda, bapak empat anak itu masih terlihat modis dengan setelan kemeja putih dan celana jins. Ya, seperti remaja 20 tahunan. "Yuk, ngobrol sambil ngopi," ujarnya sambil memesan secangkir kopi hitam.
Ditemani sebatang rokok, dia bercerita tentang masa pahit ketika meniti karir kartunis dari nol. Dari sebuah ketidaksengajaan yang mengubah hidupnya 180 derajat. "Dulu itu saya enggak punya cita-cita jadi kartunis. Waktu di STM itu suka ikut tawuran, mabuk juga. Lama-lama jenuh dan mikir mau ngapain. Orangtua lalu kasih sedikit modal disuruh jualan buku-buku bekas," kata Jitet.
Pria kelahiran Semarang, 4 Januari 1967 ini lantas melakoni pekerjaan sebagai penjual buku bekas. Jangan anggap remeh karena justru disitulah ia jadi hobi membaca sembari menunggu pelanggan. Di tengah perjalanan, Jitet bertemu Slamet Baijuri, kartunis pemilik tokoh Bogel yang mengenalkannya pada komunitas kartunis di Semarang. Mulailah ia belajar seluk beluk kartun lebih dalam.
"Di situ saya belajar jenis kertas, tinta, gimana cara mengirim karya buat ikut lomba. Mulai terbuka jalan istilahnya. Kirim lomba pertama, enggak menang enggak apa-apa. Tahun depannya ikut lagi kompetisi di Yugoslavia juara dua. Sudah dari situ makin terang jalannya," ujarnya.
Karir Jitet terus menanjak saat ia mencoba peruntungan bekerja di media. Sekitar empat tabloid dan majalah dijajal sebelum akhirnya berlabuh di koran nasional, Kompas. Setelah hampir 25 tahun mengecap asam manis sebagai kartunis, pria humoris ini enggan pindah ke lain hati. Kartun sudah seperti kopi dan rokok yang sedang ia nikmati.
Saat ide keluar, di sanalah tangannya bekerja. Tak peduli apakah harus menggambar di kertas atau di daun sekalipun. "Saya lahir dari keluarga enggak mampu. Biasa gambar di tanah atau pakai arang juga jadi. Dimana-mana gambar," katanya.
(fip/utw)











































