Api itu akan sangat berbahaya jika tak ada kompornya. Begitu pun sebaliknya. "Mereka pasangan yang konsisten berkarya untuk pertahankan tari tradisi."
Malam itu, aktor senior Indonesia ini diundang untuk memberikan testimoni sebagai sahabat dari Elly Lutan. Ia mengenalnya puluhan tahun lalu ketika sama-sama masih aktif berkesenian di teater.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya ditelpon langsung oke, padahal enggak tahu mau ngapain. Yah mungkin saya ini dijadikan kesaksian bagi seniman besar dari Dedy Lutan dan istrinya," kata Slamet. Baginya menjadi seorang seniman itu haruslah apa adanya. Hal itu yang dirasakan Slamet dan ia merasa dirinya memiliki kemiripan dengan Dedy Lutan.
Ia menceritakan jika Dedy tak malu dengan mencari nafkah menari di hotel-hotel. "Dia enggak pernah merasa salah pernah menari menghibur orang-orang yang sedang makan di hotel. Dia tahu prosesnya menjadi seniman, bukan learning by doing tapi by experience."
Kerendahan hati ini yang tak dimiliki oleh seniman mana pun. Meski Dedy sempat terkena stroke tahun lalu, tapi menurut Slamet itu hanya fisiknya saja.
"Jika di militer dibilang, soul never dies, mungkin ungkapan itu yang pantas buat Dedy. Seniman itu tergantung 'nawaitu' dari awalnya," jelasnya. Jika Dedy memiliki bakat sejak lahir, suatu hari nanti bakat itu dikembalikan kepada si Pemilik Bakat. Kita manusia, kata dia, tak bisa menduga.
Namun, diusia Dedy yang menginjak 62 tahun, terlihat sekali masih adanya semangat untuk tetap konsisten di seni tari tradisi. "Tak ada yang tua dan tak ada yang renta. Mas Dedy diberikan waktu untuk menjalankan S3 nya dengan baik dan mengambil tari tradisi Kalimantan. Mementaskan karya yang sekarang ini begitu apiknya," katanya.

(tia/utw)