Ironi Kita dalam Lakon Tiga Babak

Ironi Kita dalam Lakon Tiga Babak

- detikHot
Selasa, 24 Des 2013 19:05 WIB
Jakarta - Baru kali ini Teater Mandiri mementaskan lakon HAH setelah 26 tahun ditulis. Ternyata kisah pedih masyarakat marginal Indonesia tak berubah.

“Hei, Cantik, kasih saja kalau dia mau bayar!” sambil menggendong bayi, Siti (Vien Herman) berseru ke anak tirinya yang remaja. Cantik (Intan) yang sedang ranum-ranumnya itu dipandang penuh nafsu oleh seorang pemuda. Artinya, bagi Siti, besok dapurnya bakal ngebul.

Kehidupan Siti makin lama makin berat. Suaminya, Pian, sudah setahun hilang tanpa kabar. Utang di tetangga makin menumpuk dan semua sudah melewati tenggat waktu. Si Pincang (Bambang Ismantoro), bandar narkoba di kampung itu, masih saja tiap hari datang teriak-teriak mencari Pian menagih utang, “Pian bopeng! Kampret! Di mana lu?” Dia yakin Siti menyembunyikan suaminya di rumah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kupingnya sudah kebal dengan sangkaan buruk ibu-ibu tetangga bahwa dia sengaja tidak akan membayar utang pada mereka. Siti sampai pernah menyerahkan golok ke tetangganya yang datang menagih utang, agar dipenggal saja lehernya. Pernah juga menyerahkan korek api agar dibakar saja rumahnya. Gertakan ini lumayan meredam kegarangan mereka walau tidak mengurangi nyinyirnya.

Anak tirinya satu lagi, Boy (Alung), si pengunjung tetap lokalisasi, kali ini pulang dalam keadaan sakit kelamin. Langsung terkapar di rumah. Boy sempat melaporkan melihat bapak bersama gendak barunya yang janda, di suatu tempat. Siti tak peduli.

Keluarga itu makan hanya dari penghasilan anak tiri Siti yang waria jalanan, Isabella (Ucok Hutagaol). Tiap pagi Isabella pulang sempoyongan dengan lembar-lembar duit receh terselip di balik kutang.

Isabella sejatinya laki-laki, tapi dipaksa keadaan untuk berdandan perempuan dan bergenit-genit agar jasanya laku. Kali ini dia sudah muak dengan peran demikian berat yang harus dia pikul.

Keinginan Isabella didukung nenek angkatnya (Laila), yang juga tinggal di rumah itu. “Anak bagus diajar jadi banci, bencong, bences, tapi dihina terus!” kata nenek bersungut-sungut. Dari dulu dia menyarankan Pian kawin dengan anak Pak Lurah, bukan dengan Siti yang sama-sama susah.

Tak tahan lagi dengan kerasnya impitan hidup, Siti memutuskan hendak gantung diri. Dia sudah berdiri di atas kursi kayu. Tambang sudah dilingkarkan di leher. Tinggal menendang kursinya, maka selesai penderitaan. “Anak rusak, aku yang disalahkan. Perempuan selalu dijadikan bulan-bulanan. Besok tukang kredit datang, entah dengan apa dibayarnya.”

Simak artikel lengkapnya di majalah detik

(ich/ich)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads