Namanya Faradila. Baru berusia 6 tahun dan duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Sejak setahun lalu, dia sudah diajarkan menenun oleh ibunya, Sariat Lebana.
Desa Ternate Umapura, tempat ia tinggal, merupakan salah satu basis tenun di Kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur. Sudah jadi tradisi jika semua wanita di sana wajib menenun. Tak peduli usia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti anak kecil kebanyakan, bungsu dari enam bersaudara itu sering merasa malas menenun kain. Apalagi, dilakukan setiap hari sehabis pulang sekolah.
Untunglah, dia tidak sendirian. Beberapa teman wanita sebaya juga
mengerjakan hal yang sama. Ya, mungkin semacam kegiatan ekstrakurikuler di luar jam sekolah.
"Saya sama teman-teman kami semua menenun. Mama pun semua menenun," ujarnya.
Nashila, 6 tahun, bercerita bahwa mereka tidak hanya belajar cara menenun saja, juga memetik kapas dan memintal benang. Tentu masih dalam tahap yang ringan sesuai kemampuan anak kecil.
Ada keasyikan tersendiri, terutama karena dilakukan bersama teman-teman. Tapi, menenun bukanlah pekerjaan mudah. Orang dewasa sekalipun banyak yang angkat tangan.
"Ya, sulit. Karena bingung melihat banyak benang digulung lalu diputar-putar. Tapi, sekarang saya sudah bisa," kata Nashila.
Sariat Lebana, 42 tahun, penenun yang menemukan 186 warna dari alam bilang, regenerasi diperlukan agar warisan nenek moyang tetap utuh sampai kapanpun.
"Saya sadar kami hidup tidak selamanya. Makanya, ilmu menenun harus diturunkan ke anak cucu biar ada yang menggantikan," ujarnya.
(fip/utw)