Samuel Wattimena, Buat Kostum Teater Koma dari Kain Ulos Sampai Batik Tradisional

\'IBU\', Pementasan Teater Koma Ke-131 (6)

Samuel Wattimena, Buat Kostum Teater Koma dari Kain Ulos Sampai Batik Tradisional

- detikHot
Rabu, 30 Okt 2013 14:43 WIB
Samuel Wattimena (Tia Agnes/ detikHOT)
Jakarta - Menjadi seorang penata kostum teater memiliki keunikan tersendiri bagi desainer Samuel Wattimena, 53 tahun. Khususnya di Lakon 'IBU' yang dipentaskan Teater Koma selama 17 hari di bulan November mendatang.

Ia mendesain setiap peran yang ada di lakon, dari karakter Ibu Brani hingga pemain kecil. Totalnya sekitar 100 kostum. Lalu apa yang menjadi keunikan dari kostum teater buatan pria yang akrab disapa Sammy tersebut?

"Di pementasan ini, kita tidak lari secara eksekusi," ujarnya. "Saya pakai ulos, lurik, kain batik, rajut, endeg Bali, tenun gedogan dan kain tradisional lainnya tapi yang bisa dipakai ke ranah masa lalu."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sammy menceritakan sejak tiga tahun lalu ia sudah diajak oleh sang sutradara Nano Riantiarno untuk membuat kostum 'IBU'. Ia langsung mengiyakannya.

"Saya ini orangnya suka belajar sama kehidupan. Suka belajar dari menonton teater, musik, dan film," ujar Sammy.



Artinya, dengan mengerjakan hal-hal yang berbeda dibandingkan desainer fashion lainnya, pria kelahiran 25 November 1960 ini seperti sedang berpetualang.

"Saya ini mengambil perjalanan yang lebih banyak tidak hanya di dunia fashion saja." Keahliannya dalam penggunaan kain-kain tradisional dan detil kostum Sammy diakui tingkat nasional maupun internasional.

Di lakon 'IBU', Sammy menceritakan proses kerjanya sekitar dua bulan. Hal yang pertama kali dilakukannya adalah membaca karakter yang ada dalam skenario. Kedua, berdiskusi dengan sutradara, penata gerak dan musik, dan lain-lain.

"Kostum disesuaikan dengan gerakan mereka juga ketika menari. Rancangan yang saya buat, dirancang secara khusus dan karakteristiknya berbeda-beda," kata Sammy.

Seperti kostum pada peran utama Ibu Brani. Jika dilihat dari karakernya, ia adalah seorang ibu yang berani, tangguh, dan berani berjualan di tengah kemelut perang.



Kostum yang dirancangnya, kata dia, tak boleh warna-warna yang mendayu, feminim, dan terkesan ringkih. "Harus maskulin secara warna seperti coklat, abu-abu, merah hati, dan hitam."

Jenis bahan yang digunakan pun turut andil dalam ekspresi peran si tokoh. Sama seperti kostum putri bungsu Ibu Brani, Sammy dan tim Teater Koma mendiskusikan apakah memakai detil renda atau tidak.

Bahannya pun dipikirkan oleh pria yang pernah menjadi anggota Teater Remaja Kak Yana pada 1976 silam. Ia memilihkan bahan yang menyerap keringat. "Kalau penata geraknya bilang bahannya kayaknya enggak bagus buat pemain, dan Pak Nano setujui, yah ganti."

Kecintaannya berkarya di dunia kostum teater ini menjadikannya sebagai satu-satunya desainer top dunia yang dipakai oleh berbagai kelompok teater. Tak hanya oleh Teater Koma saja, tapi juga oleh penyelenggara pementasan lainnya.

Sedangkan Nano menggunakan jasa Sammy lantaran ia adalah ahli tenun Indonesia. "Dari 2007 ia sudah sama Teater Koma, saya sudah kasih naskahnya. Jadi ruang untuk belajar Sammy sangat luas," katanya. Ia pun mempercayakan keseluruhan kostum di lakon ini kepada Sammy dan timnya.











(utw/utw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads