Namun, di balik kesuksesan perjalanannya, salah satu pendiri Teater Koma, Nano Riantiarno menceritakan bahwa mereka pernah mengalami beberapa kali dilarang pentas.
"Kalau diingat-ingat saya juga enggak tahu alasannya. Kalau enggak salah sedikitnya sudah empat kali dilarang," katanya kepada detikHOT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua, lakon 'Opera Kecoa' yang akan dipentaskan selama tiga hari di Agustus 1985 pernah diancam melalui telepon. Gedung Rumentang Siang di Bandung sebagai lokasi pementasan disterilkan aparat.
Lakon ketiga yang dilarang adalah 'Sampek Engtay' di Gedung Kesenian Jakarta pada 1988 hingga 1989 silam. Saat itu, Nano diinterogasi oleh Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN) yang kini menjadi Badan Intelejen Negara, satu hari penuh di markasnya, yang ketika itu masih berada di Pintu Sembilan Senayan.
Masih di lakon yang sama namun di kota Medan, pada 20 Mei 1989, karya ini sempat dilarang aparat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Kota Medan.
"Padahal di kota lain boleh saja kok pentas. Saya surati Depdikbud yang ada di Jakarta, tapi mereka bilang malah tidak tahu menahu," kata pria yang pernah belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) ini.
Di lakon tersebut, kata dia, hanya menceritakan mengenai emansipasi perempuan. Ia berpendapat tak menyinggung pemerintah saat itu.
Setahun kemudian, lakon keempat yang dilarang adalah 'Suksesi' dan sebanyak dua kali pelarangan. Pentas itu dilakukan selama 14 hari. "Di hari ke-11, kami sudah enggak boleh pentas. Padahal mau berencana tambah waktu pementasan karena banyak banget yang nonton."

Selama 10 hari, Nano diintegrasi Komando Daerah Militer (KODAM) dan Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK). Lalu 1990 silam, lakon 'Konglomerat Burisrawa' juga nyaris dicekal. Saat itu, ia diintegrasi melalui telepon usai latihan terakhir.
Lakon kelima adalah 'Opera Kecoa.' Pementasan yang sudah disiapkan dua tahun di empat kota di Jepang yakni Tokyo, Osaka, Fukuoka, dan Hiroshima ini dilarang polisi. Akibatnya, pentas keliling Jepang dibatalkan.
Para seniman protes, dan menghadap ke DPR RI dan Menkopolkam. Tapi, kata Nano, tetap saja Teater Koma dilarang pentas 'Opera Kecoa' ke Jepang.
"Padahal subtitlesnya bahasa Jepang dan Inggris sudah disiapkan tim kami dari Jepang dua tahun sebelumnya," katanya.
Setelah itu, ia harus mendapatkan surat ijin khusus jika ingin pentas. Tak hanya Teater Koma saja yang dilarang, namun pertunjukkan milik Guruh Soekarno Putra dan Rhoma Irama mengalami hal yang sama.
Di tahun 1993, Nano menceritakan ia menghadap 13 direktur dan pejabat era Soeharto, ia diinterogasi selama lima jam.
"Sesudah ngomong dan jawab pertanyaan mereka, akhirnya mereka sepakat ambil keputusan saya ini enggak nakal. Surat ijin khusus tidak diberlakukan lagi sampai Pak Harto jatuh," ujarnya.
(utw/utw)