Namun, begitu berdiri di podium, "asli"-nya pun keluar. Ngocol dan membanyol. Pertama-tama ia mengomentari pembawa acara Debra Yatim yang mengumumkan larangan bagi penonton untuk mengambil gambar dengan kamera apapun karena hal itu bisa mengganggu konsentrasi para penampil. Konsentrasi apa? Bagi Arswendo pengumuman itu mengecewakan.
"Saya ini orangnya narsis kok malah nggak boleh difoto gimana dong saya kan ingin terkenal dan dipajang di mana-mana juga," ujarnya disambut tawa hadirin. "Tapi setidaknya malam ini saya diakui sebagai sastrawan, dan bahkan dijuluki empu," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tadi disebutkan bahwa saya legendaris, bikin Keluarga Cemara, hah, itu sih cuma pakai tangan kiri," cetetuknya seraya memperagakan jari-jemari di atas tuts mesin ketik.
"Lho, sastrawan mana yang bikin 300 seri sinetron? Saya 40 tahun lalu sudah bikin novel judulnya Circus, pakai bahasa Inggris pula. Salihara baru bikin sekarang, hahaaa...kuno!" selorohnya mengomentari nama acara 'Sirkus Sastra' yang menjadi tema Bienal Sastra Salihara tahun ini.
Suasana pun makin ger-geran, dan Arswendo makin tak terbendung dengan banyolan-banyolannya. Tampak seolah-olah pamer dan menyombongkan diri, tapi sebenarnya tersimpan sinisme halus gaya orang Jawa yang tengah menertawakan diri sendiri. Sampai ia pun lupa bahwa tugasnya malam itu adalah membacakan karya.
"Ini apa peru dibacakan sih? Nanti saya baca kalian jangan terpukau," ujarnya sebelum akhirnya benar-benar membacakan petikan dari novel yang belum selesai ditulisnya, berjudul 'Rabu Rasa Sabtu'.
"Judulnya aja udah bagus, berirama seperti puisi. Tapi pemilihan judul ini kadang juga unik, kenapa milih judul ini dan bukan yang lain. Saya sebenarnya bisa saja memberi judul misalnya Love Story Without Love and Without Story. Bisa saja. Makanya kadang saya berpikir, sebuah karangan itu istimewanya di mana?" celotehnya lagi.
Akhirnya, penulis novel 'Canting' dan serial cerita silat 'Senopati Pamungkas' itu memang tak menyelesaikan pembacaan petikan karyanya. Ia tak pernah tahan untuk tak mengomentari setiap kalimat yang baru saja selesai dibacanya. Lama-lama, ia pun membebaskan dirinya untuk bicara di luar teks.
"Kapan lagi bisa berdiri di acara seperti ini? Kan dibilangnya sudah senior, belum tentu 2 atau 3 tahun lagi masih ada di sini, bisa begini. Jadi sastrawan itu modalnya cuma lama nulis, tiba-tiba jadi empu, gak peduli nulis apa," ujarnya santai.
Tapi, tak selamanya Arswendo membanyol. Ada saat ketika ia tiba-tiba bicara serius, penuh perenungan, misalnya soal bahasa yang telah berubah. "Bahasa sudah berontak," ujar jurnalis, praktisi televisi, penulis skenario serta sutradara sinetron dan film tersebut.
"Kata-kata telah menemukan simbolnya sendiri, dinamikanya sendiri dan menciptakan maknanya sendiri. Lalu, apa masih perlu ada penyair, sastrawan? Ketika kita berhadapan dengan situasi bahasa yang berubah, saya kehilangan kontrol bahwa saya seorang pengarang. Di situlah pembaca semakin penting, sebagai penafsir. Siapa coba yang ngurusin cerpen yang kamu tulis 30 tahun yang lalu?" tuturnya.
"Dinamika bahasa yang merampas itu tadi, tiba-tiba menguasai kita. Tiba-tiba kita dibingungkan oleh kata-kata yang dulu maknanya sederhana. Tapi, bahwa sampai hari ini kita masih percaya dengan sastra, itu luar biasa. Kita masih mempercayai kata-kata karena di situ mungkin imajinasi masih ada, di situ mungkin kebebasan masih bisa," tambahnya.
Namun, Arswendo kembali "menggila" ketika MC mengingatkan bahwa waktunya sudah hampir hampis. "Ayolah, Debra, kasih dong kesempatan, nanti di luar sana sudah nggak ada yang mengenali dan menyapa saya lagi," ujarnya merajuk sedih, namun hadirin tertawa semakin lebar.
(mmu/mmu)