Gerusan zaman hingga persaingan dengan media membuat Opera Batak sempat surut dan hampir punah. Sekelompok anak muda yang tergabung dalam Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) kini berusaha membangkitkan lagi seni budaya ini.
Bergandengan tangan dengan Lena Simanjuntak-Mertes, penulis naskah dan sutradara yang juga seorang aktifis perempuan dan lingkungan, PLOt mengusung kisah 'Perempuan di Pinggir Danau'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***
Panggung berlatar kain merah, putih dan hitam, warna khas suku Batak. Beberapa tandok, anyaman pandan tempat membawa beras yang biasanya dibawa di kepala wanita Batak jadi hiasan panggung. Di sudut kanan satu set alat musik godang yang terdiri dari empat instrumen dimainkan para musisi.

Seorang wanita berbaju putih dengan ulos (selendang tenun Batak) hitam masuk ke panggung iringan musik berirama lambat dan sendu.
Sejurus menari dengan lembut yang berkesan mistis wanita itu bicara lantang, "Kau menciptakanku sebagai simbol kesuburan. Kau basuh aku dengan air dari langit ...".
Dia, sang perempuan yang satu bahunya berhias sisik ikan keemasan adalah Inong (atau inang) ibu bumi yang sedang resah. Karena sumber air yang jadi sahabatnya, tempatnya bercengkrama dan mengabdi, mulai tercemar.
***
Babak pertama opera Batak Perempuan Di Tepi Danau ini, untuk orang yang bukan suku Batak, mungkin masih terasa akrab. Yakni tentang legenda ikan mas, danau Toba dan Samosir.
Namun memasuki babak berikutnya, sembari diiringi dengan nyanyian dan tari Cawan khas tanah Batak, penonton akan mendapatkan nuansa berbeda dari kisah yang naskahnya ditulis Lena Simanjuntak-Mertes ini.
Inong dan putrinya Sondang Nauli, ikan mas yang menjelma jadi wanita cantik yang dinikahi Samosir si nelayan, menyampaikan pesan tentang betapa mengerikannya kondisi Toba yang sudah semakin tercemar. Dimana perempuanlah yang jadi korban utama.

Menurut Lena, yang juga menjadi sutradara pertunjukan ini, memang inilah yang terjadi. Perempuan-perempuan di tepi Toba adalah yang paling terpengaruh akan kondisi air.
"Karena sehari-hari merekalah yang paling berinteraksi dengan air danau. Untuk mencuci, memasak, memandikan anak," kata Lena.
Bukan hanya soal pencemaran lingkungan. Persoalan air danau juga soal semakin terpinggirnya masyarakat asli oleh industri.
"Bagaimana bisa di sumber air yang dipakai selama ribuan tahun, orang harus menggunakan air dalam kemasan botol plastik. Ini kan hasil dari konsumerisme yang memprihatinkan," kata Lena kepada detikHOT usai pementasan di Graha William Soerjadjaya, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jumat (25/10/2013).
Co-sutradara yang juga direktur artistik PLOt, Thompson Hs juga mengamati hal yang sama. "Inang-inang atau ibu-ibu di tepi Toba, hanya bisa mengambil air pukul 3-4 pagi," kata Thompson.
"Pukul 3 sore, air danau sudah ada yang berbuih dan berlendir karena tercemar, tapi inang-inang itu kini tak punya pilihan lagi."
(utw/utw)