Soal Dokumentasi Karya Seni Rupa, Indonesia Masih Payah

Embrio, Pameran Arsip Seni Rupa Indonesia (1)

Soal Dokumentasi Karya Seni Rupa, Indonesia Masih Payah

- detikHot
Rabu, 16 Okt 2013 10:56 WIB
Asikin Hasan (dokpri)
Jakarta - Karya seni tak layak jika sekadar dibuat, dipamerkan, lalu sesudahnya dibiarkan terlupakan. Meski ada beberapa karya yang cukup beruntung untuk dimiliki oleh kolektor, pecinta seni atau jadi koleksi museum.

Untuk itu semestinya ada sebuah upaya untuk mengarsipkan dan
mendokumentasikannya. Sayangnya tampaknya Indonesia belum punya kesadaran untuk melakukan pengarsipan karya seni rupa itu secara menyeluruh.

"Kita memang belum punya arsip yang memadai ya, saya kira belum ada inisiatif dari Pemerintah," ujar Asikin Hasan, kurator dalam Pameran Arsip dan Dokumen Seni Rupa Indonesia, kepada detikHOT, Rabu (9/10/2013) lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Untuk memulai upaya ini, Galeri Nasional menyelenggarakan Pameran Arsip dan Dokumen Seni Rupa Indonesia yang diberi tajuk 'Embrio'. Pameran ini berlangsung di Gedung B dan C, Galeri Nasional, Jakarta Pusat mulai tanggal 9-17 Oktober. Berikut laporan detikHOT.

***

Tak salah jika ajang ini memilih kata 'Embrio' karena diharapkan bakal jadi cikal bakal pendokumentasikan karya seni rupa Indonesia yang lebih baik, lengkap dan mudah diakses.

Untuk memulainya Galeri Nasional sengaja menggandeng beberapa kantong budaya di Indonesia yang sudah lebih dulu memiliki inisiatif untuk menyimpan dan mendokumentasikan arsip bangsa.

Seperti Indonesian Street Art Database (ISAD), Forum Lenteng, Ruang Rupa, Indonesian Visual Art Archive (IVAA) Yogyakarta, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Forum Lenteng, Komunitas Belanak (Padang), Galeri Kita (Bandung) dan Bali Art Archive.

"Apa yang kita lihat dalam pameran ini, benar-benar inisiatif sendiri dari teman-teman, kantong-kantong budaya. Mungkin mereka melihat ini sebagai hal penting," kata Asikin.

"Ini menarik, sebagian gambar-gambar itu mereka dapat dari tempat loakan. Jadi pengarsipan kita itu harus dimulai dari sekarang."

***



Di ruang pameran terpampang beberapa presentasi arsip dan dokumen seperti plakat, piagam, video juga foto yang bisa merangkum dan memberi gambaran soal pergerakan seni rupa di Indonesia.

Asikin Hasan sendiri membuat tiga pembabakan dalam pertumbuhan seni rupa kontemporer Indonesia, yakni era 70-an, 80-an dan 2000-an. "Era itu era yang sangat penting dalam pertumbuhan seni rupa kontemporer," ujarnya.

"Tahun '70-an itu orang melakukan kritik terhadap seni modern, kalau dulu seni rupa modern itu orang mengenalnya patung, keramik, lukis. Yang lain-lainnya agak terabaikan." Kemudian pintu seni rupa kontemporer mulai terbuka dan demokratisasi dalam dunia seni rupa pun semakin melebar.

"Jadi yang disebut sebagai karya seni rupa itu tidak lagi lukis, keramik atau patung. Tapi bisa cover majalah, fesyen, desain grafis, semua itu bisa menjadi gejala dari seni rupa yang baru," ujar Asikin.

***

Bergerak terus ke era 80-an dan 2000-an, video art dan seni instalasi semakin kuat. Namun Asikin menjelaskan, tak hanya media dan bentuknya yang semakin menguat. Tapi juga pesan yang dikandung dari sebuah karya seni.

"Itu kita lihat bahwa bicara rupa itu tidak hanya mengekspresikan sesuatu, tapi juga membangkitkan harapan-harapan baru dan itu gejala yang semakin kuat."

Ciri khas lain dari pergerakan ini adalah munculnya banyak komunitas seni rupa, yang menjadi tempat mereka membuat dan merepresentasikan karya.

Pameran arsip ini coba menyuguhkan gambaran horizontal seperti apa pergerakan seni rupa Indonesia. Misal seperti apa yang terjadi dalam dunia seni pada masa orde baru.

"Ketika orde baru itu kuasanya begitu masif, orang tiba-tiba menemukan musuh baru setelah kolonial. Ini membangkitkan dunia kesenian menjadi kuat," kata Asikin.






(utw/utw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads