Galeri ini awalnya terbentuk dari tempat nongkrong anak-anak muda di sekitar stasiun dan Kampung Ampiun sejak 1998 lalu. "Awalnya kita nongkrong di bawah tangga stasiun atau depan Kampung Ampiun," kata penggagas galeri Bau Tanah, Refi Mascot kepada detikHOT Selasa (19/9/2013).
Lambat laun, aktivitasnya tak hanya nongkrong saja. Lantaran Refi sudah tertarik dunia fotografi sejak masih duduk di sekolah menengah pertama, untuk pertama kalinya ia memamerkan karya yang bertajuk persoalan Aceh pada 2005. Kala itu ia sudah memakai
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

nama 'Bau Tanah.'
Kemudian, ia kembali pameran sendiri pada 2007 dengan tema 'Masyarakat Adat, Pahlawan Hutan Dunia.'Dari dua pameran tersebut, kawan-kawan tongkrongannya mulai kecanduan fotografi.
Setahun berikutnya, bertepatan dengan hari ulang tahun kota Jakarta, kawan-kawannya ikut memajang hasil memotretnya. Pameran saat itu bertajuk 'Jakarta Kemarin-Kemarin.'
"Waktu gue pameran, orang-orang berpikir gue cuma pameran doang. Tapi sebenarnya itu gue demo dan demo yang paling bener yah di tempat banyak orang," ujarnya.
Refi sendiri belajar fotografi ketika ia bertemu dengan fotografi ternama Don Hasman. Saat itu, mereka akan jalan-jalan ke Baduy Dalam. Setelah bertemu dan mengobrol minat yang sama, Don membimbingnya belajar fotografi.
"Gue enggak tahu kalau dia fotografer, tahunya petualang saja. Dia jadi pembimbing fotografi pas akhir 1990an. Dia juga dukung terbentuknya Galeri Tanah," ujarnya.
Dari demonstrasi berbagai karya foto miliknya itu, akhirnya Refi mengenalkan apa itu galeri jalanan Bau Tanah. Mengapa dinamakan seperti itu?
Menurutnya, bau tanah itu identik dengan suasana setelah hujan turun. "Gue tumbuh besar dari sesuatu yang dirindukan yaitu edukasi. Kalau habis hujan kan baru ada bau tanah. Termasuk galeri publik ini yang kita butuhkan dan rindukan."
Pameran fotografi maupun seni rupa lainnya di ruang publik jalanan tidaklah mudah. Pasalnya, kata dia, harus mengantongi ijin dan tak boleh menganggu lalu lalang pengunjung stasiun. Ditambah dengan psikologis peserta pameran yang harus menjaga karya selama 24 jam.
Di antara suka dan duka lainnya, ada satu peristiwa yang masih diingat Refi yaitu ketika ada penggusuran pedagang pada 2009 lalu. Kebetulan, Bau Tanah sedang mengadakan pameran foto bertajuk 'Perspektif Manusia untuk Lingkungan'.
Di sana terdapat 300 karya yang dipajang dari bawah tangga stasiun hingga ujung tembok mural. "Kita enggak tahu kalau mau ada gusuran. Kita pikir bakal digusur juga sama seperti pedagang lainnya karena satu deretan. Eh mereka malah enggak ngegusur kita," kenangnya.
Hal yang sama juga dialaminya ketika gusuran para pedagang Stasiun Cikini tahun ini. Saat tahu ada gusuran, Refi langsung memajang hasil fotografi karya kawan-kawannya. Ia memajangnya sepanjang bawah tangga hingga ke tembok mural.
"Eh ternyata kami enggak digusur juga. Tapi yah memang masalah kami ini, tempatnya enggak legal juga," ujar pria yang tinggal di Matraman, Jakarta Pusat.
Selama delapan tahun berdiri, Galeri Jalanan Bau Tanah secara rutin memberikan materi fotografi gratis kepada siapa pun yang ingin belajar. Hingga sekarang ini sudah ada angkatan ke 15.
Tak hanya materi dasar tapi juga ada fotografi tingkat lanjut. Di antaranya yakni soal fotografi jurnalistik dan black and white photography.
Selain itu, pria yang juga berprofesi sebagai tukang loak di Jembatan Hitam ini juga menjelaskan ada materi lainnya yang diajarkan seperti penulisan, sastra, bahasa Perancis, bahasa Inggris, mural, dan jurnalistik.
"Tapi karena pengajarnya juga tahu tidak kami bayar, dan siswa dapatkan ilmu gratis. Jadi para siswa harus mengikuti jadwal pengajar yang bisa, tidak seperti kuliah," katanya.
Hingga kini sudah ada pengajar fotografi seperti Don Hasman, Tirtoandayanto Mulyono Rustamadjie, Andi Purnomo, dan Ray Bachtiar. "Di sini belajar fotografi itu mahal banget. Belum alat-alatnya juga, makanya kita mau pendidikan ini gratis."
Refi pun tidak memberikan syarat apa pun kepada siswa yang ingin mendaftar. Yang terpenting baginya si siswa tidak bolos materi dan bersungguh-sungguh mengikuti pelajaran. Serta tetap mengadakan pameran foto sebagai tugas akhir angkatannya.
(utw/utw)