"Itu menjadi salah satu karya yang dianggap penting. Karena lukisan Sultan Agung itu ada sejarahnya pada tahun 1979. Secara teknik, ia tidak mudah," kata kurator 'Seabad S.Sudjojono' Santy Saptari kepada detikHOT Jumat (6/9/2013) pekan lalu.
Mengapa karya tersebut penting? Menurut Santy, secara riset sangatlah tidak mudah. Serta di dalam lukisan terdapat banyak detil obyek yang bisa ditelusuri dan bermakna sekali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Djon juga merisetnya selama tiga bulan menetap di Belanda. Ia ingin menginvestigasi watak tokoh, busana serdadu, ikatan rambut, senjata para tentara, ukuran kuda, kapal, tenda-tenda prajurit, lanskap hingga warna gigi manusia di Jawa pada abad ke 17.
Aminudin TH Siregar dalam buku berjudul 'Sang Ahli Gambar' menyebutkan jika material lukisan dipersiapkannya agar tahan lama. Kanvasnya dipesan dari Belgia, untuk cat dan kuas-kuasnya dipesan langsung dari Belanda. Serta lukisan sebesar itu juga membutuhkan ruangan tak kalah besar yakni 8x13 meter.
Djon mengatakan dalam buku tersebut, "Kesulitan membentangkan kain selebar 3x10 meter dan seberat terpal truk menimbulkan kesulitan baru. Untuk kanvas dibutuhkan spanraam yang terdiri dari 6 batang blok jati yang kering benar dan panjang masing-masing 5 meter. Untuk bentangkan kanvas segitu besar, saya butuhkan teknik tertentu."
Dengan menggunakan material yang tahan lama, Djon sudah memprediksi karyanya akan tahan lama, setidaknya tahan sedikitnya 100 tahun. Sayangnya, ia mengaku dari awal tak bisa memprediksi iklim tropis Jakarta sekarang ini. Serta usia gedung museum yang sudah tua.
Ternyata prediksi Djon benar. Sejak lukisan tersebut dipajang dari 1974, baru pada 2008 direstorasi. "Kami bersyukur pada akhirnya ada dana bantuan untuk merestorasinya," kata Maya Sudjojono, putri terakhir Djon dan Rose Pandanwangi.
Pada era 1990an, ia pernah mengajak salah seorang tamu dari luar negeri untuk melihat lukisan ayahnya. Saat itu, Maya terkejut lantaran pemandu museum tak tahu siapa pelukis dari lukisan tersebut. Bahkan, kondisi lukisan sangat memprihatinkan.
"Setelah ganti direktur museum, mereka mulai memperhatikan lukisan Bapak. Mulai juga ada restorasi, karena dia sudah luntur catnya, dimakan rayaplah. Kami bersyukur sudah ada yang peduli," ujar Maya.
Salah satu maha karya Djon ini dijual dengan harga sekitar Rp 3,5 juta di era tersebut. Dalam bahasa Belanda ia menuliskan, "Saya membuka harga terlalu rendah. Harga karya ini Rp 3,5 juta. Namun itu risiko saya. Saya telah menyepelekan kenaikan harga sejak Maret 1973 sampai Juni, harga bahan pokok naik hampir 100 persen," ujarnya dalam buku 'Sang Ahli Gambar'.
Sedangkan menurut Santy, selain lukisan di Museum Fatahillah, seniman Djon memiliki karya lainnya yang tak kalah bagus. Seperti lukisan berjudul 'Di depan Kelambu Terbuka' yang dipajang di Istana Bogor.
"Itu karya tahun 1939 dan juga menjadi salah satu masterpiece Bapak. Dari lukisan itu, orang-orang mulai membicarakan jiwa ketok yang ada di lukisan itu. Tentang seseorang yang duduk di bawah kelambu tapi tak ada cantik-cantiknya," ujarnya.
(utw/utw)