Tommy F. Awuy, Sang Pengusung Postmodernisme di Indonesia

Mengulik Profesi Kurator Seni (1)

Tommy F. Awuy, Sang Pengusung Postmodernisme di Indonesia

- detikHot
Jumat, 16 Agu 2013 08:49 WIB
Tommy F. Awuy
Jakarta - Dalam dunia seni, khususnya seni lukis dan seni rupa, salah satu ajang para seniman unjuk karya dalah lewat pameran. Nah, dalam setiap pameran selalu ada sosok kurator yang punya peran penting dalam pengelolaan pameran itu.

Kurator berasal dari bahasa latin "curare" yang bermakna mengurus. Tugasnya sangat luas dari sekadar manajer pameran. Merekalah yang bertanggungjawab akan semua karya dalam pameran, memilih yang akan dipamerkan hingga kadang memberi interpretasi pada materi tertentu.

Dengan semakin menjamurnya ruang pamer bagi seniman di Indonesia, muncul pula sosok para kurator yang memang mumpuni dalam menangani karya-karya seni. Berikut detikHOT menurunkan sejumlah kisah unik, dan asyik seputar dunia para kurator seni. ***

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Formalnya, Tommy F. Awuy berprofesi sebagai dosen di Jurusan Ilmu Filsafat Universitas Indonesia. Tapi jangan bayangkan sosok Tommy sebagai orang yang tampil serius amat.

Saat bersedia menemui detikHot (12/8/2013) di Reading Room Cafe Tommy hadir dengan penampilan bersahaja. Dia hanya mengenakan celana selutut dan kaos berwarna coklat tua. Rambut gondrongnya dibiarkan terurai. Sebuah kacamata baca bertengger di kepalanya.

Ayah dua anak kembar -- Philo dan Sophie -- ini mulai terjun ke dunia kurator sejak tahun 1999. Waktu itu Tommy langsung diminta menangani proyek besar berupa pameran karya pelukis dan perupa perempuan di Galeri Nasional.

"Itu karena teman-teman tahu saya suka seni dan menulis feminisme," kata Tommy.

Ajakan menjadi kurator itu sebenarnya sempat membuatnya heran. Karena biasanya kurator setidaknya adalah jebolan dari studi seni rupa. Memang tidak ada sekolah khususnya menjadi kurator, tapi setidaknya seorang kurator pernah melewati studi seni.

"Sementara saya sama sekali tidak, menulis seni karena senang. Memang filsafat juga ada seni yang diterjemahkan pada seni rupa dan seni pertunjukkan," ujar Tommy menjelaskan.

Enam tahun berselang, barulah Tommy membuka galerinya sendiri. Namanya tak jauh-jauh dari bidang yang digelutinya, Philo Art Space di Jalan Kemang Timur 90 C, Jakarta. Tommy menjelaskan bahwa sebagai seniman lukis sekaligus penikmat seni yang memiliki latar belakang filsafat, ia mulai mengawali profesi kurator dengan menulis di katalog-katalog pameran seni sebagai pengamat saja.

Sementara ada kurator lain yang menulis khusus di katalog itu. Sebenarnya sebelum benar-benar terjun ke dunia seni, Tommy tak berkutat di dunia filsafat semata. Sejak tahun 1994, dia juga sudah aktif mengajar di Institut Kesenian Jakarta. Dulu memang sempat terlintas dalam benak Tommy untuk mengambil studi bidang seni karena kecintaannya akan seni lukis dan musik.

Meski kemudian lebih memilih filsafat, Tommy merasa beruntung karena kini akhirnya hidupnya kembali lekat dengan dunia seni. Ada alasan khusus mengapa Tommy mau terjun ke dunia kurator. Waktu ditawari jadi kurator, saat itu bersamaan dengan masa peralihan era modern ke postmodern di seni rupa Indonesia. Tommy sendiri saat itu, lantas sering disebut-sebut sebagai bapak Postmodern Indonesia.

"Saat itu saya mempopulerkan istilah postmodern, juga mempromosikan postmodern di media. Sehingga akhirnya banyak terjadi perdebatan dimana-dimana," ujarnya.

Memang saat itu dunia lukis Indonesia tengah membutuhkan perubahan dari generasi yang disebut Tommy sebagai old master ke generasi baru. Pandangan-pandangannya ini yang membuatnya semakin dilirik pada kalangan dunia seni lokal.

"Generasi yang baru ini kan yang hidup di zaman urban. Ya, masa generasi urban masih melukis gunung, sungai atau sawah? Urban itu kan semangatnya chaos. Orang cuek dengan urusan satu per satu. Sekalipun mereka masih punya sensitivitas estetik"

Lebih jauh Tommy menjelaskan bahwa pada era seni modern, seni lukis masih sangat menjaga perspektif. Lebih simetris dan juga lebih realis. *** Di galerinya, Tommy rutin menggelar pameran.

Setidaknya dalam satu bulan ada satu kali pameran, baik pameran tunggal seorang seniman maupun pameran kolektif. Meski terbilang sering mengkurasi karya seni, ia mengungkapkan memiliki filter sendiri baik untuk memilih seniman maupun karya.

"Filter-nya itu pengetahuan, insting dan strategi. Kalau menawarkan untuk dikurasi tapi karya belum layak dipamerkan, saya bisa nolak."

Kepada detikHOT Tommy menegaskan pentingnya inisiasi dan pelatihan untuk kurator. Dia melihat selama ini memang belum ada sistem dan manajemen yang profesional terkait kurasi seni. Jadi seandainya ada pelatihan kurasi di masyarakat Tommy akan sangat mendukungnya.

"Untuk menuju sistem yang lebih kuat, saya kira memang perlu adanya pelatihan kurator seni, agar kurator enggak asal bunyi juga he...he...he..."


(/utw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads