Sambil terus menyanyi dan bergoyang erotis, perempuan itu melepas satu per satu pakaiannya, dan melemparkannya ke arah si lelaki yang duduk tegang menikmati. Semakin lama perempuan itu seperti kesurupan. Puncaknya, ia meraih bungkusan tas plastik hitam yang diberikan oleh si lelaki tadi. Dikeluarkannya isinya, sepotong kepala yang masih meneteskan darah! Kepala seorang laki-laki berjenggot.
Perempuan itu terus menari sambil mengacungkan tinggi-tinggi potongan kepala yang telah dipenggal dari tubuhnya itu. Kepala siapakah? Malam mendadak angker, dan goyangan perempuan itu pun berubah menjadi maut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Intan dan Naomi bersama-sama menuangkan cerpen itu ke dalam naskah pemanggungan yang ciamik. Didukung dekorasi panggung yang efektif, pertunjukan selama sekitar 1,5 jam dengan cantik menghadirkan kembali musik dangdut dan budaya kampung era 90-an. Ada 4 lokasi penting yang dihadirkan di panggung, mewakili kehidupan sebuah kampung. Yakni, masjid, warung, pos ronda dan panggung dangdut.
Adegan dibuka dengan penampilan primadona dangdut Salimah (diperankan oleh aktor pria, Ari Dwianto) yang menghipnotis pria-pria kampung. Lalu, penonton diperkenalkan dengan tokoh Solihin (Irfanuddien Ghozali) yang tergila-gila dengan Salimah. Namun, kehadiran Salimah di kampung itu tak diharapkan oleh Haji Ahmad (Muhammad Nur Qomaruddin), yang dulu tak lain guru gaji Salimah waktu masih kecil.
Haji Ahmad berhasil menghasut pria-pria kampung untuk membubarkan pentas Salimah, dan membuat perempuan itu pergi dari kampung. Dua tahun kemudian, Salimah muncul kembali dalam wujud yang misterius. Orang kampung mengira dia sudah menjadi hantu, tapi ternyata Solihin masih tetap mengejar-ngejarnya. Terbakar oleh dendamnya pada Haji Ahmad, yang diam-diam dicintainya, Salimah pun memenuhi rasa penasaran Solihin dengan syarat. Solihin harus bisa mempersembahkan kepala Haji Ahmad kepadanya!
'Goyang Penasaran' meramu sandiwara rakyat dengan balutan suasana film horor Indonesia klasik, dan atmosfer kejayaan musik dangdut di masa lalu. Bingkai besarnya adalah relasi kuasa politik dan agama dengan tubuh dan seksualitas yang tak jarang melahirkan kekerasan. Dengan gaya realisme yang bersahaja, berhias 8 lagu dangdut populer dari era 70-an hingga 90-an, pementasan ini memberikan sesuatu yang segar, terasa dekat dan menggugah.
(mmu/mmu)