Film Inerie, Mengadopsi Keseharian Hingga Bahasa Warga Flores

Melirik Pelatihan Aksen dalam Seni Peran (6)

Film Inerie, Mengadopsi Keseharian Hingga Bahasa Warga Flores

- detikHot
Jumat, 24 Jan 2014 14:10 WIB
Ilun, saat proses pembuatan film Inerie (Astrid Septriyana/detikHOT)
Jakarta - Dalam waktu dekat, tepatnya pada 26 Juni 2014 mendatang sebuah film yang diproduseri oleh Lola Amaria, berjudul 'Inerie' akan tayang.

Film yang mengangkat isu soal keselamatan ibu saat melahirkan ini, bukan termasuk kategori film komersil. Artinya 'Inerie' tak akan tayang di bioskop-bioskop besar.

Sutradaranya, Chairun Nissa yang akrab disapa Ilun ini menjelaskan lebih detail soal proyek filmnya kali ini. "Nama Inerie itu merupakan nama sebuah gunung di Bajawa yang artinya mama cantik. Inerie sekaligus menjadi tokoh utama dalam film ini, yang mewakili sosok ibu di muka bumi ini," ujarnya kepada detikHOT (22/01/2014).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mbak Lola Amaria mengontak saya dan memberitahu ada proyek film dokumenter mengenai bagaimana situasi kesehatan ibu hamil di Flores secara keseluruhan." Walhasil ia harus melakukan riset mendalam, karena syutingnya berada di lokasi yang kondisinya akan sangat berbeda dengan data-data statistik yang sebelumnya sudah ia terima.

"Syutingnya di Flores, selain angkat isu sosialnya, kita juga mau angkat kebudayaannya juga. Kita keliling Flores untuk mencari lokasi itu sampai sepuluh hari. Akhirnya ditentukan lokasinya di Bajawa, kampung Tololela, karena disana masyarakat adatnya kooperatif dan mereka senang bisa terlibat dari pembuatan film ini," kata Ilun.



Setelah melalui banyak pertimbangan juga, terpilihlah Maryam Supraba sebagai satu-satunya aktor profesional yang membintangi film ini. Sisanya mereka menggunakan penduduk lokal dalam film doku-drama ini. "Kita waktunya enggak terlalu banyak jadi kita butuh pemain yang bisa beradaptasi dengan cepat."

"Doku-drama, karena dari kasus yang kita temui di tempat lain, kisah ini diringkas dalam lingkungan kampung Tololela. Dengan menggunakan Karakter, bahasa dan keseharian yang mengadopsi lingkungan setempat," jelasnya. Naskah dalam film ini banyak menggunakan bahasa Indonesia, namun para pemeran yang merupakan penduduk setempat lebih nyaman bila menggunakan bahasa lokal.

Ilun dan tim, menerima banyak masukan dari para penduduk yang terlibat pada pembuatan film ini dengan terbuka. Artinya sah-sah saja, bila saat syuting penduduk itu melontarkan bahasa daerahnya. Ilun sendiri menjelaskan bahwa dalam pembuatan filmnya yang ada adalah seorang pelatih akting, belum ada pelatih aksen profesional yang ia libatkan.

"Kita adanya pelatih akting, namun ini lebih ke penguatan karakter si pemeran. Tapi kalau untuk melatih aksen kita memang harus ada orang lokal yang membantu."

Ilun sadar dalam beberapa bahasa daerah Indonesia ada tingkatan budaya dan penggunannya, ada ke hierarki bahasa. Jadi pelatih aksen lokal yang digunakannya lebih digunakan untuk konsultasi penggunaan bahasa dalam dialog. "Untuk kita lebih mudah mengartikan bahasa lokal ke bahasa Indonesia dan sebaliknya."




(ass/utw)

Hide Ads