Netflix membawa beragam kisah lewat film sekaligus serial original yang mereka produksi. Dan tak jarang, film dan serial mereka mencuri perhatian lewat ide cerita yang beda dan tak biasa.
Maka tak salah ketika banyak yang berbondong-bondong menyaksikan Netflix. Populernya Netflix menjadikan sineas Hollywood ketar-ketir bahkan sekelas Steven Spielberg merasa ikutan risih.
Beberapa waktu lalu, secara 'halus' Spielberg mengungkapkan Netflix seharusnya memiliki bioskop sendiri bila film-film produksinya ingin ambil bagian dalam persaingan di ajang Oscar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Menyorot tentang sistem badan pemasyarakatan di Amerika, 'Orange is The New Black' membawa penjara bukanlah sebuah tempat yang biasa.
Ia bak sebuah lubang, yang dipenuhi dengan berbagai macam emosi dan cerita manusia yang ada di dalamnya.
Disutradarai penulis sekaligus sutradara AS yang juga terkenal lewat serial 'Weeds' yang ia garap, 'Orange is The New Black' berpusat pada Piper Chapman (Taylor Schilling), perempuan yang harus menghabiskan waktu selama 15 bulan di balik jeruji karena kedapatan mengirim uang dalam jumlah besar kepada pasangan lesbiannya yang bekerja pada kartel narkoba.
Setelah di awal kita dipertemukan dengan Piper, penonton lantas diperkenalkan pada karakter demi karakter perempuan yang rumit sebagai sesama tahanan.
Piper memiliki kehidupan yang lebih baik bersama sang tunangan Larry (Jason Biggs). Ia berurai air mata saat momen perpisahan dengan sang kekasih, hingga suatu ketika ia menemukan dirinya terjebak di dalam penjara bersama mantan kekasihnya yang membuatnya terlibat masalah yang ia alami sekarang.
![]() |
Sejak episode pertamanya tayang, penonton diperkenalkan dengan berbagai macam karakter wanita yang menjadi bagian mengalirnya kisah dari balik jeruji 'Orange is The New Black'. Latin, biarawati, ahli Yoga, seorang pembantu rumah tangga yang menjadi pembunuh, seorang narapidana Rusia yang disegani hingga lesbian-- ke semuanya menjadi bumbu cerita 'Orange is The New Black' yang menohok hingga tabu menjadi satu.
Meski begitu, serial ini tak hanya soal perempuan. Jenji Kohan dan para penulis skripnya terobsesi dengan sejuta detail kecil yang membentuk dunia yang dapat dipercaya tanpa hiasan. Setiap episode berisi pengungkapan menarik yang mewakili banyak problem khususnya yang dimiliki AS.
Di antaranya rasisme hingga melihat sisi manusiawi para tahanan yang ada di dalamnya. Mereka boleh saja punya masa lalu kelam, akan tetapi Kohan mengangkat sisi humanis bahwa yang buruk tak selamanya buruk dan kebenaran bagi setiap orang berbeda-beda.