Saat ini Mulyana tengah memajang karya instalasi berskala besar di gelaran Art Jog 11 di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta. Simbol-simbol yang dihadirkannya menggunakan teknik rajutan dan bekerja sama dengan 70 orang ibu-ibu di sekitar studionya yang berada di Jalan Mangkuyudan.
"Saya sebenarnya sudah merajut sejak 10 tahun yang lalu. Banyak orang yang bilang, baru 4 tahun pindah ke Yogyakarta kok sudah jadi commissioned artist dan namanya terangkat, padahal nggak banyak yang tahu kalau saya sudah 10 tahun lho merajut," ujarnya saat mengobrol di sela-sela malam pembukaan Art Jog 11.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awalnya alumnus Pendidikan Seni Rupa UPI Bandung itu menyukai praktik seni yang berbentuk modular. Selama berkuliah, ia mengisi waktu akhir pekan dengan bekerja di Tobucil yang pada akhirnya membawanya konsisten merajut.
Saat kerja di Tobucil, ia belajar membuat origami modular. Namun, material kertas yang rapuh itu membuatnya berpindah ke gulunan wol.
"Dari satu benang bisa jadi bentuk apapun. Dan senangnya itu bisa aku bawa ke mana-mana, nggak rapuh, nggak langsung rusak kalau kena hujan. Akhirnya aku nggak milih pakai origami lagi," tuturnya.
Pameran tunggal pertamanya yang berjudul 'Mogus World' pada 2012 silam mendapatkan perhatian publik. Kurator beragam galeri sampai awak media menyambangi eksibisinya kala itu yang disebut Mulyana sebagai syukuran kelulusan.
"Aku juga kaget banyak yang datang, media juga nyebut aku seniman pria yang merajut dan jadi hal langka," lanjut Mulyana.
Lewat karya-karyanya yang terinspirasi dari dunia bawah laut, Mulyana kian menebarkan virus bahagianya teknik rajutan. Merajut pula bisa menjadi media penyembuhan.
Bagaimana kelanjutan cerita teknik rajutan menjadi penyembuhan bagi Mulyana? Simak artikel berikutnya.
(tia/dal)