.webp)
Ryan Coogler menjadi sutradara di balik kehadiran 'Black Panther' di layar lebar. Film ini diakui sutradara yang menuai penghargaan lewat kelanjutan kisah petinju Rocky Balboa dalam 'Creed' itu sebagai impian yang akhirnya terwujud.
"Saat masih anak-anak, aku suka membaca komik. Iron Man hingga Spider-Man, namun jauh di dalam hati aku ingin bisa melihat kemunculan sosok superhero berkulit hitam," ujar Coogler saat diwawancara Washington Post.
Lulus dari University of Southern California di 2011, Coogler tetap menyimpan kecintaannya pada dunia komik. Dan setelah Marvel membuka semesta sinematik superhero mereka lewat 'Iron Man', Coogler berandai-andai jika suatu saat dirinya bisa menyutradarai film superhero.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua petinggi Marvel yakni Nate Moore dan Joe Robert Cole tertarik pada sutradara 35 tahun ini lewat karyanya 'Fruitvale Station'.
"Kami tak bisa berhenti membicarakan film tersebut usai menontonnya," ujar Moore.
Selepas 'Captain America: Civil War', proyek 'Black Panther' lantas menjadi rencana studio tersebut untuk dikembangkan. Sebelumnya nama Ava DuVernay (Wrinkle in Time) menjadi salah satu calon sutradara yang ditunjuk.
Penolakan Ava lantas menjadi pintu pembuka bagi Coogler.
"Aku menyukai pertemuanku dengan keduanya (petinggi Marvel Nate Moore dan Joe Robert Cole). Ketika aku menyaksikan 'Civil War' aku semakin antusias," tutur Coogler.
'Black Panther' tak hanya menjadi ajang Marvel menunjukkan superhero mereka. Film superhero ini menjadi kisah yang sarat pesan akan kesetaraan gender juga ras.
Sebuah pernyataan politik yang begitu dalam dibawakan dengan gaya menghibur dan tentu, menjadi karakter favorit selanjutnya setelah Iron Man hingga Spider-Man.
