'Fastline' atau garis cepat' menjadi dasar dari lukisan-lukisan Abenk. Jika disimak lebih mendalam, di permukaan atas kanvas terdapat beragam bentuk random, garis tak tentu arah, dan ada beberapa yang terdiri seperti sebuah karakter. Dahulu fastline dibiarkan Abenk tanpa warna, baru dibuatkan karakter di atas 'fastline'.
Kini 'fastline' berubah menjadi karakter itu sendiri. Menurut Abenk, dia mendapatkan ide tersebut ketika masih menempuh pendidikan magister dan belajar buku-buku sufi maupun Filsafat Timur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebelumnya fastline dan karakter saya pisahkah. Karakter yang saya kasih warna dan fastline didiemin aja. Keduanya tadinya jadi entitas yang berbeda, tapi saya bikin jadi satu," ujar Abenk ketika mengobrol dengan detikHOT di RUCI Art Space, beberapa waktu lalu.
Namun, warna-warna yang dipakai Abenk masih sama seperti sebelumnya. Yakni, kuning, hijau, biru, dan merah yang diidentikkan dengan api.
![]() |
"Itu empat warna yang lumayan mempengatuhi tone-tone warna saya dalam melukis," lanjutnya.
Buku sufi karya Hazrat Inayat Khan diakui Abenk mempengaruhi seri lukisannya kali ini. "Kembali lagi karena perspektif vibrasi lagi, saya menemukan alasan untuk menggabungkan antara penggunaan fastline dan karakter-karakter saya," kata Abenk.
"Karena perspektif dari sufi tersebut yang menjadikan ada penggabungan ini. Dia mengatakan semua yang termanifestasi di dunia fisik lahir dari vibrasi. Fastline untuk vibrasi tersebut yang akhirnya menciptakan untuk makro kosmos-nya," lanjut pria yang kini berusia 32 tahun.
Karya-karya Abenk bisa dilihat di RUCI Art Space hingga 28 Januari 2018 mendatang. Pameran kolektif 'Place of Belonging' menampilkan karya dua seniman lainnya, Glenda Sutardy dan Mark Schdroski.
(tia/doc)