Sebentar lagi, yang kamu lihat barusan kelak menjadi judul berita utama di media cetak maupun daring. Ponselmu akan terus berdering. Surel segera bermunculan. Undangan wawancara. Dari majalah, koran, tabloid, teve, perguruan tinggi, serta komunitas seni dan budaya, baik dalam maupun luar negri. Ditambah pesan jalur pribadi dari kolektor dan kritikus. Sementara dunia mengeroyok, susah payah kamu mencoba tegap berdiri. Semua ini telak membuatmu keok.
Tujuh hari lalu, kamu temukan surat yang dititipkan bapak melalui suamimu di samping bantal. Pagi itu kamu tersenyum saat membukanya, sehingga parasmu tampil jauh lebih elok.
Marya yang manis, begitu bapak selalu mengawali pesan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah ibu menganggap bapak gila gara-gara bicara dengan pohon jati, beliau berkemas lalu melarikan diri. Beliau tidak tewas di ruang persalinan saat melahirkanmu, seperti yang bapak ceritakan selama ini. Maaf, bapak tidak berani mengatakan yang sesungguhnya karena bapak khawatir kamu ikutan minggat.
Senyummu tamat. Kamu sebetulnya hapal kebiasaan bapak, meninggalkan surat sebelum hengkang selama beberapa minggu, lalu pulang menenteng karya baru. Tetapi, surat-surat bapak sebelumnya tidak pernah hadir dengan kejutan. Berita bapak kali ini meluncur setajam belati, menikam dadamu berkali-kali.
Meski demikian, bapak senang karena kepergian ibu membuat kita kompak belajar cara menggenggam lebih baik. Ketika hidup merenggut semua darimu, Marya, yang tersisa menjadi tak ternilai harganya. Suaramu yang lembut bapak selipkan di antara gaung jantung. Mustahil bapak abaikan kecuali kelak jantung bapak berhenti berdegup. Selain suaramu, bapak juga mengagumi suara pohon. Tahu, kan, kamu, ketika angin membuat daun-daunnya bergemerisik.
Belum ada yang berhasil memecahkan misteri bapak dengan pohon. Selain ditanam di rumah, pohon bapak juga tidak pernah absen melengkapi lukisannya. Kadang di antara gedung ia menjulang. Atau dibentuk oleh asap rokok yang diembuskan pemuda perlente. Sekali waktu digoreskan sebagai refleksi pada bola mata seorang wanita. Pernah ada seorang wartawan menyusun jejak pohon di tiap lukisan bapak dan mengasumsikannya sebagai simbol yang mewakili cerita bersambung.
Bapak tidak mengerti kenapa hubungan bapak dengan pohon dianggap ganjil, bahkan sampai perlu diadili. Orang-orang membicarakannya seolah ia wabah. Bapak selalu menolak menceritakan relasi bapak dengan pohon karena bagi bapak itu sifatnya pribadi. Sama seperti yang kamu rasakan ketika dulu kamu jejalkan rok merahmu dengan bercak darah di lemari. Setengah mati bapak mengutuk diri sendiri, mempertanyakan alasanmu merahasiakan pengalaman pertama datang bulan.
Saat itu, di atas meja makan, kita hanya berjarak sepasang jengkal orang dewasa. Tetapi, untuk dapat meraihmu bapak selalu gagal. Kamu duduk macam artefak dalam museum, dilengkapi kaca yang mustahil bapak tembus. Melalui kamu, bapak kemudian mengerti bahwa tidak semua hal wajib dibagi. Termasuk rencana-rencana.
Kali ini, bapak berencana meluncurkan lukisan perdana tanpa pohon, Marya.
Kamu menelan ludah.
Bapak membayangkan pamerannya diadakan di Semarang, di rumah eyang. Di halaman belakang, ada pohon jati yang bapak tanam sejak remaja. Itu artinya, usianya kini sudah puluhan tahun. Pada pohon itulah, nanti lukisannya bapak pajang. Bapak ingin lukisan itu disaksikan duluan olehmu seorang.
Lalu, kamu bisa menghubungi media dan sebarkan press release sekaligus undangan pameran. Dalam amplop bersama surat ini, bapak selipkan kunci rumah eyang. Bapak tahu, selama ini bapak belum pernah mengajakmu ke sana. Alamat lengkapnya bapak tulis di bagian belakang amplop, ya. Datanglah pekan depan, tepat pada hari ulang tahunmu. Bapak pastikan, lukisan bapak telah selesai.
Apakah mungkin sejenak meninggalkan suami serta puterimu di Bandung? Bilang kamu ada seminar. Atau pelatihan. Bapak ingin merayakan momen sakral ini berdua denganmu, sekalian mengenang hidup kita di masa lalu.
"Mas, kapan bapak kemari?" Kamu bergabung dengan suami dan anakmu yang sedang sarapan. "Kamu yang terima suratnya kan?"
Suamimu mengangguk. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar pc, dia menjawab, "Kemarin sore. Pas kamu ngajar."
"Bapak titip pesan lain?"
"Beliau mengundangku ke pameran lukisannya di Semarang. Jadwalnya masih belum pasti. Katanya, beliau masih perlu berdiskusi denganmu."
Semula, kamu hendak menelepon bapak untuk memprotes suratnya yang sukses mengacak-acak hidupmu dalam belasan menit. Tetapi, kamu urungkan. Kamu mahfum. Saat melukis, bapak butuh konsentrasi penuh. Sama seperti saat beliau merawat pohon.
Sebetulnya bapak bisa mengumpulkan benih bunga jati yang jatuh dari pohon. Tetapi, saat itu bapak dapat bibitnya dari kenalan tukang kebun eyang. Diajarinya pula bapak mempersiapkan lahan sampai pemeliharaan. Bapak taburkan pupuk kandang selama sebulan sebelum pengolahan lahan. Setelah itu, bapak gemburkan tanah dengan membajaknya. Setelah tumbuh, bapak pangkas batang cabang secara berkala. Supaya batang utama tumbuh lurus.
Tukang kebun eyang heran mengapa tiba-tiba bapak menanam pohon jati. Saat itu bapak berbohong. Bapak bilang, bapak hanya tertarik bercocok tanam. Ingat, Marya, jangan beberkan rencanamu pada siapa pun sampai kamu selesai mewujudkannya.
Pohon itu bapak tanam sebagai penanda waktu untuk menghitung sudah berapa lama eyang pergi. Terakhir bersamanya, kami hendak berlibur ke negeri paman Sam. Tidak banyak yang mampu bapak ingat dari perjalanan itu, selain hangat tangan eyang yang gemetar mengelus pipi bapak.
Bapak tidak paham mengapa hanya eyang yang diloloskan melewati imigrasi. Sementara bapak dipulangkan kembali ke Tanah Air, ditemani pramugari.
Sejak itu bapak melanjutkan hidup sendirian. Berlatih melukis, berjualan pisang plenet buatan bibi untuk membiayai hidup. Mengandalkan sisa uang eyang saja tidak cukup. Setahun, dua tahun, bapak rutin menyiram benih pohon jati demi menjaga kelembaban, sekaligus menantikan eyang kembali. Tetapi, tidak ada berita. Tidak ada penjelasan dari sanak saudara. Sampai dua puluh tahun usia pohon jati bapak memekar raksasa, eyang tidak pernah pulang.
Tetapi, saat itu, ibumu datang.
Ibumu tidak hanya pandai bercakap, segalanya sukses ia sulap. Perlahan, ia berhasil membuat bapak kembali mencintai hidup, di dalamnya termasuk mencintai pohon jati.
Tetapi, Marya, cinta yang terlampau besar rupanya berakhir membebani. Oleh pohon jati yang sempat dicintainya ibumu merasa dikhianati. Bapak diteriakinya sinting, kemudian ia lari pontang-panting. Firasat bapak memperkuat motif kepergian ibu karena penjualan lukisan bapak dari waktu ke waktu kian merosot, sehingga ibu tidak bisa menikmati hidup semewah biasanya.
Kamu tidak terima duniamu dijungkirbalikkan. Sepekan kemudian, sesuai permintaan bapak, kamu berangkat menyusulnya. Mengemudi sendiri. Kamu pilih jam malam. Alih-alih berdusta, sebagaimana saran bapak, kamu sampaikan niatmu menjumpai bapak pada suamimu. Selama ini, kamu dan suamimu berhubungan dengan apik.
Pernikahan kalian begitu bening. Bila sesekali kelokan dalam perjalanan membuat kalian cedera, kalian lekas saling membalut. Tidak ada luka yang disembunyikan demi merias keadaan. Kalian percaya justru kejujuran satu-satunya kunci untuk membuka pintu hati.
Suamimu tidak akan sempat berbisik mengucapkan selamat ulang tahun tepat tengah malam nanti. Biasanya, disematkannya pula sebait doa. Setelah itu dia akan mengecupmu di bibir, kening, hidung, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Bukan masalah, pikirmu. Besok pagi, kamu akan melihatnya di layar ponsel, bersinggungan pipi dengan puterimu, meniup lilin untukmu sama- sama.
Usai mengisi bahan bakar, kamu tepikan mobil di kedai kopi dua puluh empat jam. Sambil menyerang kantuk, kamu lanjutkan membaca surat bapak.
Bapak takut, entah bagaimana, kamu juga meninggalkan bapak. Seperti ibumu dan eyang. Maka, bapak pikir, bapak harus segera merealisasikan rencana bapak. Selagi kamu masih ada. Ditinggalkan itu rasanya seperti hilang raga, Marya. Dunia tetap bergerak dan bersuara, tetapi kamu tidak ikut serta. Memori hadir bagai asap yang menyelubungi mayatmu ketika kamu dikremasi.
Dalam keremangan itu, sejarah diputar kembali dengan jelas. Hanya saja, ia datang dengan jarak yang tak tergapai realitas. Kamu akan berusaha memungut apa saja yang tertinggal; keatasan di mesin cuci, seprai yang urung kamu ganti, sampai bentuk terakhir sabun mandi. Ibu meninggalkanmu saat kamu masih nenen, jadi arsip ingatanmu masih nol persen. Kamu aman. Manusia baru benar-benar tumbang dihajar kenangan, Marya.
Melalui spion, kamu melirik sebungkus bakmie goreng Kong Hu kesukaan bapak di jok belakang. Selepas maghrib, tadi kamu sempat membelinya dari rumah makan China di trotoar Pasirkoja.
Bakmie Kong Hu adalah satu dari sekian banyak kenanganmu bersama bapak yang senantiasa kamu jaga.
Bapak akui, selama ini, begitu banyak kebohongan yang bapak berikan padamu. Hanya itu cara yang bapak tahu untuk membuat hidup lebih mudah. Berbohong merupakan pilihan paling enteng untuk memperbaiki situasi. Bapak lupa, setiap kebohongan tumbuh seperti bibit pohon jati yang suatu saat mustahil ditutup-tutupi.
Kalimat bapak bergema selama kamu mengemudi dalam kecepatan di atas rata-rata. Ketika peta digital pada ponsel memberitahu dirimu akan tiba dalam beberapa menit, kamu memutuskan berhenti mengemudi. Kamu tidak yakin dirimu siap menemui bapak. Semua ini terasa tidak adil bagimu. Tetapi, apa yang bapak tulis selanjutnya membuatmu kembali menginjak gas.
Sebagai pembohong ulung, bapak tetap berupaya membahagiakanmu. Di sekolah dasar, bapak belajar mengepang supaya seperti kawanmu yang lain, kamu juga dapat memamerkan rambutmu yang legam terbentuk sempurna. Ingat saat bapak hadir dengan rok span, blouse dan rambut tiruan pada perayaan hari ibu? Bapak ditertawai oleh setengah dari isi kelasmu, tetapi selama itu membuatmu bahagia, bapak tidak peduli. Indah betul hidup ini, Marya, ketika kita mampu mengabaikan tanggapan buruk orang di sekitar.
Pada hari lainnya, telunjuk bapak memar karena terjepit mesin jahit saat kita sama-sama menyelesaikan pekerjaan rumah kerajinan tangan. Bapak juga menikmati eksperimen kita memasak resep babat gongso, biar pada akhirnya kita menyerah lalu menelepon restoran cepat saji.
Kamu sudah di depan pintu. Memutar kenop, lalu masuk dengan gagu. Ruang-ruang gelap menyambutmu dalam senyap. Tanpa memerhatikan sekeliling, kamu bergegas menuju halaman belakang. Saat melewati dapur, kamu dapati pohon jati bapak berdiri gagah dari balik jendela. Kamu tersenyum. Sinar matahari pagi menerobos, menghangatkan tubuhmu yang diserang gigil.
Pohon jati di rumah eyang itu memiliki lima cabang, disebut pendhawa. Merepresentasikan kekuatan dan dipercaya mampu menjadi kerangka pendopo utama.
Di bawah pohon, tergeletak surat kabar lawas menyuguhkan judul berita Selundupkan Narkoba, WNI Ditahan di Bandara Amerika. Setelah kamu periksa, ia terbit beberapa dekade silam. Kamu menoleh ke hamparan rumput di sampingmu. Di sana, tercetak bayang-bayang bapak yang menggantung kaku dari salah satu cabang. Tepat di atas kepalamu. Seperti dekorasi. Tali yang melingkari lehernya juga mengikat serta kanvas yang selesai dilukis. Tetapi, kamu tidak berani menengadah. Itu adalah bagian yang kamu hindari sejak kamu tiba tadi.
Marya, dunia memiliki banyak cara untuk membuatmu sengsara. Tetapi, pilihanmu merespons akan menentukan segalanya. Sengaja bapak tanam pohon ini untuk bapak jadikan jalan keluar. Ini pilihan bapak supaya tidak ditinggalkan oleh siapa-siapa lagi.
Selamat ulang tahun, ya, Marya yang manis. Bapak sayang.
Sayang sekali bapak tidak sempat menyantap bakmie goreng Kong Hu yang kamu belikan.
(Diilhami oleh Adhitya Korsa)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)