Pria kelahiran Kebumen, 14 April 1986, sejak awal terjun ke dunia komik dan kreatif didukung penuh oleh keluarganya. Ayahnya yang merupakan seorang komikus dan penulis asli Kebumen kerap menyarankan membaca karya-karya sastra.
"Bapak saya yang sakti karena belajar otodidak. Beliau komikus dan penulis yang mengeksplorasi ranah geografi dan dari koleksi novel bapak saya, mengajarkan saya banyak membuat personifikasi," ujar Sweta saat ditemui di M Bloc Space, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Ketika ia beralih menjadi novelis, Sweta sama sekali tak kesulitan. Tantangannya justru berada di hal-hal detail dan memberikan sensasi berbeda kepada para pembacanya.
"Komik kan ada gambar, tidak perlu mendeskripsikan banyak hal. Langsung saja karakternya ngomong. Di novel saya harus mendetailkan dan memberikan sensasi yang berbeda ke pembaca," kata Sweta.
Ia pun memasukkan kalimat-kalimat yang mendeskripsikan unsur panca indera manusia. Hal-hal tersebut yang dicoba digali oleh Sweta.
"Saya pindah ke indera perasa dan mencoba membuat detailnya. Jadi dalam peristiwa besar harus disisipi, sensasi itu yang nggak didapatkan di komik," tukas komikus 'Grey dan Jingga' tersebut.
(tia/dar)